NAMA SISWA : HALIMATUSSADI’AH
KELAS : XC
ASAL
MADRASAH : MAN I
PONTIANAK
TETAP BERPRESTASI
WALAU HAUS AKAN KASIH SAYANG ORANG TUA
“
Hujan.” Mengingatkan aku pada sebuah kenangan yang pahit tapi berbuah manis. Naura
sungguh ingat kejadian itu dan membekas dibenaknya. Suatu motifasi, kecewa, sedih,
senang, dan kasih sayang yang ia rasakan. Naura adalah anak orang kaya, apapun
yang ia inginkan akan segera didapatnya.
Kedua orang tua Naura sangat sibuk. Mereka menghabiskan waktu mereka hanya
dengan bekerja, bekerja dan bekerja.
Di
keluarga kecil Naura ini, Naura adalah anak satu-satunya. Ia tak mempunyai
saudara, ya benar, ia hanya anak sulung dari keluarga yang lebih cukup tapi
tidak baginya. Naura adalah sosok gadis yang cerdas dan berprestasi dalam semua
mata pelajaran tapi yang sangat ia sukai adalah mata pelajaran fisika. Telah
beberapa kali ia mengikuti lomba dan Allhamdulillah ia selalu menang. Naura
tidak lupa bersyukur kepada Allah yang memberikan untuknya sebuah prestasi yang
luar biasa.
Naura
demikian karena ia selalu membaca, belajar dan ia selalu ingin tahu segala hal
yang ia kira itu sangat membuat ia penasaran. Mencari sampai dapat yang
menurutya itu adalah sebuah ilmu bagaikan sebuah harta yang tak ada gantinya. Ia
tidak lupa selalu tawakal dan beribadah berdoa. Naura banyak mendapatkan
penghargaan bahkan sebuah gelar anak yang berprestasi dalam hal ilmu pengetahuan
bahkan mendali pun pernah ia dapatkan. Walaupun baru 2 kali ia mendapatkannya, itu
sungguh luar biar biasa baginya.
Ia
akan selalu maju, maju, dan terus maju. Ia tidak pernah lupa dengan doa,
memohon kepada tuhan selalu diberikan ilmu yang sangat berguna bagi masa depan dan meraih cita-cita yang ingin digapainya.
Ia selalu semangat dalam belajar, baginya belajar itu sangat luar biasa manfaatnya.
Dengan belajar dan membaca, kita mendapatkan ilmu pengetahuan yang Masya Allah.
Ilmu pengetahuan itu sangat bermanfaat bagi kita, bagi genenerasi muda. Naura
sangat yakin akan hal itu. Naura berkata, “Siapa lagi yang akan meneruskan
bangsa ini, kalau bukan kita sebagai generasi muda yang berprestasi.”
Naura
sangat membutuhkan support dari orang tua dan kasih sayangnya. Baginya untuk
menggapai prestasi, yang membuat mereka bangga, orang tua mana yang tidak
senang, melihat anaknya dapat meraih
prestasi. Ia sangat berharap orang tuanya selalu memberi motifasi yang kuat dan
bermanfaat bagi kemujan prestasinya. Tapi apa yang terjadi. Orang tuanya tidak
pernah perduli malah sibuk sendiri dengan urusan mereka sendiri. Inilah yang
membuat Naura selalu merasa sedih.
Batin
Naura, “Kapan ibu dan ayahku punya sedikit saja waktu untukku. Mereka hanya
sibuk sendiri, tak pernah ingat dengan diriku. Pergi pagi pulang malam.”
Inilah
kenyataannya, sebelum Naura bangun dari tidurnya, orang tuanya sudah berkemas
berangkat ke kantor. Malam hari, Naura sudah terlelap dalam mimpi, orang tuanya
baru pulang dari kantor.
“Mereka
telah melupakan aku. Ayah, Ibu, sebegitu lupakah kalian dan sebegitu sibukkah
kalian sehingga benar-benar aku dianggap tidak ada. Aku butuh support dari
kalian,” Naura berkata dalam hati. Tanpa ia sadari setetes air mata jatuh dari
mata indahnya itu. Ia bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu kemudian
melaksanakan shalat shubuh. Ia tidak lupa selalu mendoakan orang tuanya.
Sebagai
siswa yang berprestasi dan selalu haus akan ilmu pengetahuan, setelah shalat
shubuh, Naura selalu menyempatkan diri untuk belajar. Walaupun hanya sebentar, itu
sangat berharga bagi dirinya. Untuk belajar, menuntut ilmu hanya 2 kuncinya
kalau mau menjadi anak yang berprestasi yaitu taat dan patuh kepada guru.
Inilah yang menjadi kunci keberhasilan Naura dalam menuntut ilmu.
Saat
matahari sudah terbit. Naura langsung membuka gorden jendelanya dan ia
mengatakan fajar telah datang, hari baru, pelajaran baru, pelajaran baru, dan semangat
yang membara. Senyuman manis Naura berikan kepada dunia, “Good morning world.”
Naura
segera bergegas dan berlari ke kamar mandi. Ya, mandi pagi segarkan diri.
Setelah itu bersiap siap, berangkat ke sekolah. Ia berlari turun dari tangga
untuk menuju ke meja makan karena begitu bersemangatnya, Naura hampir
terpeleset.
“Pagi
bi’ imah,” sapa Naura pada sesosok tubuh yang sudah berumur sekitar 50-an
tahun. Bi imah adalah, pembantu di rumahku, sudah 11 tahun ia bekerja di rumahku.
Aku selalu menganggapnya sebagai nenek ku sendiri. Setiap pagi, ia selalu
menyiapkan sarapan bagi kami sekeluarga. Dua potong roti habis ku lahap bahkan
segelas air jeruk, aku minum sambil berdiri. Tidak apalah yang penting hari ini
aku sangat bersemangat. Kemudian, Naura memanggil pak Amat. Pak amat adalah seorang
supir yang selalu siap dan patuh dengan majikannya. Ia sudah lama bekerja pada
orang tuaku. Mungkin sudah 14 tahun. Aku sudah menganggapnya sebagai pamanku
sendiri. Pak Amat selalu siap mengantarku ke sekolah.
“Pak,
mobilnya sudah dipanaskan pak?” Tanya Naura kepada pak Amat.
“Sudah
non Naura, sudah bapak siapkan dari tadi,” jawab pak Amat.
Orang
tuaku berangkat ke kantor membawa mobil sendiri. Aku langsung masuk ke dalam
mobil dan menghidupkan musik kesukaanku. Setiap aku di dalam mobil, aku memang
selalu menghidupkan musik. Musik yang enak di dengar sajalah, aku tersenyum
pada pak Amat.
Setelah
aku sampai di sekolah, aku langsung menuju ke perpustakaan karena aku akan
meminjam buku fisika yang sangat aku senangi. Setelah aku meminjam buku, di
jalan aku bertemu salah seorang sahabatku yaitu Ayu. Kami berdua sangat gila
dengan ilmu pengetahuan. Ternyata ia juga baru datang.
“Morning
Yu,” sapaku pada Ayu.
“Morning
juga Naura, baru datang?” balas Ayu.
“Yaaa.
Begitulah, keliatannya Yu,” kata Naura.
Kami
segera masuk kelas. Kami satu kelas yaitu kelas yang Alhamduliillah, kelas 11
yang terbaik dan terfavorit yaitu kelas XI IPA I yang kami banggakan. Banyak
dari sekian banyak siswa mengatakan bahwa kelas kami adalah kelas yang terdiri dari
anak-anak yang mempunyai prestasi yang
tinggi. Tetapi, walau semua bilang begitu, kami 1 kelas, tetap rendah hati dan
harus selalu memberikan contoh yang baik.
Memang,
ilmu itu sangat–sangat berharga, tidak ingin sedikit pun, aku menginginkan pelajaran
yang telah, guru sampaikan, ketinggalan.
Sangatlah rugi bagiku kalau kita ketinggalan materi karena tidak memperhatikan
guru. Itu sangat fatal akibatnya. Dengan memperhatikan kita menjadi tahu, kalau
tidak memperhatikan kita rugi besar.
Setelah
bel berbunyi, kami berdua dengan Ayu selalu menyempatkat diri ke perpustakaan. Apalagi
kalau hendak membaca dan mencari ilmu. Selesai istirahat, kami kembali masuk
kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Pada saat pelajaran berlangsung,
aku di panggil oleh kepala sekolah. aku bergegas meminta izin dengan guru yang
mengajar di kelas untuk meminta izin keluar. Sambil berjalan menuju ruang
kepala sekolah, Naura berpikir keras mengapa dia dipanggil oleh kepala sekolah.
Aku segera mengetok pintu.
“Assalamua’laikum,
permisi pak, bolehkah saya masuk?” kata Naura dengan sopan.
“Waalaikum
salam. Masuklah,” balas pak Samsir.
“Bapak
memanggil saya?” tanya Naura ragu.
“Ya.
Saya memanggil kamu. Duduklah,” pak Samsir menyuruhku duduk. Aku bertanya-tanya
dalam hati, “Ada apa ya, pak Samsir memanggilku?”
“Begini
nak, bapak dengar kamu adalah murid yang paling berprestasi di sekolah ini
khususnya kelas XI IPA I. Saya ingin mendaftarkan kamu untuk mengikuti olimpiade
mata pelajaran fisika di Singapura. Apakah kamu bersedia?” tanya pak Samsir
kepadaku. Aku terkejut dengan apa yang pak Samsir katakan. Bukan main senangnya
hatiku sampai tak terasa air mataku menetes dan rasa syukur yang pertama aku
ucapkan. Setelah aku tenang. Barulah aku menjawab pertanyaan pak Samsir.
“Ya
pak, saya bersedia mengikuti olimpiade fisika itu. Saya merasa senang dengan
kabar itu pak sekaligus kepercayaan sekolah kepada saya.”
Setelah
itu, pak Samsir memberiku surat yang harus diketahui orang tuaku sekaligus
permintaan persetujuan dari mereka. Sampai di rumah, aku akan segera memberi
tahu orang tuaku tentang kabar gembira ini batinku penuh dengan rasa gembira. Tetapi
apa yang kutemui sampai di rumah?
Harapanku
hilang, mereka belum pulang dari kantor. Aku mencoba hubungi mereka tetapi
kecewa yang kudapat. Hp mereka sibuk, berkali-kali aku menghubungi mereka, tetap
saja tidak bisa dihubungi dan selalu sibuk. Karena lelah akhirnya aku tertidur
di sofa sampai larut malam.
“Non
Naura? Tuan dan nyonya sudah pulang, non,” Bi Imah membangunkanku.
Aku
bergegas bangun dan membukakan mereka pintu dengan membawa surat itu. Tetapi
apa! Kecewa dan amarah, aku dapatkan lagi. Aku memberikan surat itu kepada
mereka.
“Naura,
kami capek!” kata ibunya dengan ketus.
“Besok
pagi saja kami membaca surat ini dan kabar gembiranya diceritakan besok
sajalah,” sambung ayahnya sambil menyerahkan kembali surat ijin itu kepada
Naura.
“Tapi
…” protes Naura.
“Sudah!
Besok pagi saja!” mereka memotong perkataanku.
Aku
sungguh kecewa dengan perkataan mereka tadi. Amarah dan kecewa yang kurasakan
semakin menjadi-jadi tetapi aku harus tetap sabar. Keesokan harinya, pagi-pagi
sekali aku sudah bersiap-siap untuk berangkat sekolah dan duduk di sofa menunggu mereka. Padahal aku
sudah siap benar mau berangkat ke sekolah tetapi mereka belum juga muncul di
ruang makan. Akhirnya, aku menghampiri mereka. Aku memberikan surat itu untuk
kedua kalinya.
“Surat
apa ini, Naura?” tanya ibu kepadaku.
“Ini
adalah surat dari kepala sekolah, bu. Tolonglah ibu baca dahulu,” kata Naura
berharap surat itu dibaca oleh ibunya.
Sudah
lama aku tidak berkumpul bersama kedua orang tuaku seperti saat ini. Kesedihanku
sudah sedikit terobati. Setelah mereka membaca surat itu, mereka memelukku dengan
erat. Itu adalah sebuah pelukan yang hangat dan pelukan kasih sayang untukku.
Bukan main gembiranya aku pagi ini. Ya Allah, sudah lama aku tidak mendapat
pelukan sehangat itu.
“Naura,
kami bangga denganmu. Kamu adalah anak yang kami banggakan. Bagaimana mungkin,
kamu bisa berprestasi seperti ini nak? Sampai-sampai kamu akan pergi ke
Singapura untuk mengikuti olimpiade fisika. Walaupun kami tahu, kami sangat
bersalah kepada Naura. Waktu kami untukmu, sangatlah terbatas. Kami selalu
disibukkan dengan pekerjaan kami,” kata ayahku dengan suara lembut.
“Maafkan
kami, ya nak,” ibu meminta maaf kepadaku. Tanpa mereka sadari, mereka
mengeluarkan air mata dan aku terharu
dengan semua itu.
“Iya,
ayah dan ibu. Naura sudah memaafkan ayah dan ibu. Naura tahu, ayah dan ibu sangat
sibuk. Naura juga paham apabila ayah dan ibu mencari nafkah demi Naura. Naura menyadari
apabila waktu ayah dan ibu hanya sedikit untukku,” jawab Naura dengan terharu.
“Iya,
nak. Ibu dan ayah sangat sibuk dan hanya memikirkan pekerjaan tanpa pernah
memikirkanmu,” sahut ibu.
“Naura
tahu itu, ibu. Naura hanya ingin mendapat kasih sayang dari ayah dan ibu serta
suport dan sebuah motivasi yang kuat agar Naura selalu semangat dalam belajar.
Itu saja yang Naura harapkan,” jawab Naura dengan penuh harap.
Satu
Minggu kemudian, tanggal 3 November adalah hari yang menegangkan bagiku. Itu
adalah hari diadakannya lomba olimpiade fisika. Waktu shubuh itu, aku tidak
lupa shalat terlebih dahulu, berdoa dan memohon diberi kemudahan dalam menjawab
soal serta selamat dalam perjalanan menuju Negara Singa Putih. Setelah shalat
subuh itu, aku bergegas dan berkemas untuk, berangkat ke bandara. Yang paling
aku senangi adalah hari ini kedua orang tuaku meluangkan waktunya untuk, mengantarku ke
bandara. Mereka, memberiku suport dan motivasi untuk kemenanganku. Setelah
sampai di bandara, aku segera berkumpul dengan rombongan yang lainya dan berangkat.
Sesampaiku
di Singapura, aku sangat tegang. Aku mencoba untuk tenang. Sebelum mengisi
soal, aku berdoa lebih dahulu.
Jam
15.00 waktu setempat adalah waktu dimana hasil akan diumumkan oleh panitia
lomba olimpiade. Semua peserta disuruh berkumpul di aula yang sudah disiapkan.
Setelah dibacakan hasilnya, bukan main terkejutnya aku mendengar bahwa namaku
yang disebut sebagai juara satu. Rasa syukur tak lepas aku ucapkan di dalam
hati. Setelah itu, aku mendapat piagam, mendali emas dan uang pembinaan sebagai hadiah kemenanganku. Setelah itu, aku
langsung menelfon kedua orang tuaku yang berada di Indonesia dan mengabarkan
kemenanganku. Mereka sangat gembira dengan kabar itu.
Rombongan
kami tiba kembali di tanah air. Banyak orang tua mereka yang sudah menunggu
anak-anaknya yang berprestasi itu, salah satunya adalah orang tuaku. Kedua
orang tuaku menyambut dan memanggil namaku.
“Naura,”
panggil ayah dan ibu kepadaku.
Ekspresi
wajah mereka menggambarkan kalau mereka sangat senang dan bangga kepadaku. Aku
langsung berlari dan menghampiri mereka.
“Ayah,
ibu, aku menang,” teriak Naura kepada ayah ibunya dengan kegirangan.
Air mata
keluar dari mata ibuku tanpa ia sadari. Mereka memelukku dan berjanji akan selalu
mengasihi, memberi motivasi serta meluangkan waktu untukku. Naura mengucapkan
terima kasih Allah atas kebesaran-Nya yang telah membuka pintu hati ayah dan
ibunya untuk mengingat Naura. Naura berjanji dalam hati akan terus belajar, belajar,
dan belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar