Oleh: Muhammad Fuad, MAN 1 Ptk
Tepat
pukul 02:30 alarmku berbunyi kencang menggetarkan gendang telingaku. Akupun
bergegas bangun dari ranjangku. Setelah mempersiapkan diri untuk sholat, lalu
kuhamparkan sejadah burukku kemudian bermunajat kepada Sang Raja dari Segala
Raja. Setelah itu, aku pun membawa buku pelajaranku. Beginilah kegiatanku
setiap malam.
“Assalamu’alaikum
Ahmad.”
“Wa’alaikumussalam
Umar…” Jawabku sambil senyum.
“Bagaimana
keadaanmu sekarang?”
“Alhamdulillah
baik.”
Setelah
menanyakan masing-masing kabar di antara kami. Kami pun mulai belajar bersama
untuk mengulang pelajaran yang telah lalu. Ting…ting…ting…, lonceng sekolahku
berbunyi tanda jam belajar akan dimulai. Hari ini jam pelajaran pertama adalah
matematika. Setelah kami membaca do’a, Pak Usman memerintahkan untuk
mengeluarkan buku PR. Aku baru teringat ternyata ada tugas yang diberikan Pak
Usman minggu lalu. Aku belum sama sekali mengerjakannya. Akhirnya aku dihukum
pak Usman. Memang buruk nasibku hari ini. Setelah aku pulang sekolah, aku pun
bergegas untuk menjemput adikku kesekolahnya. Kasihan adikku, dia pasti sangat
lama menungguku. Sesampai di sekolahnya, aku melihat adikku duduk di pos buruk
di dekat sekolahnnya sambil memegang perutnya.
“Kenapa
Dik?” Tanyaku dengan wajah senyum.
“Aku
lapar?” Jawab adikku dengan wajah mengeluh.
“Kenapa
tidak jajan di sekolah?” Jawabku dengan cemas.
Kemudian
akupun segera mengajak adikku untuk pulang. Panas matahari menyengat kulitku.
Aku semakin cemas melihat keadaan adikku yang sedang kelaparan. Akhirnya
kamipun sampai di rumah. Lalu kusuruh adikku untuk segera makan. Akupun mulai
menyandarkan tubuhku di kursi untuk beristirahat sejenak sambil mengingat-ingat
kesalahanku hari ini. Kemudian aku melangkahkan kakiku menuju pintu depan
rumahku. Kulihat dari kejauhan ayah dan ibuku yang baru pulang dari sawah. Ayah
dan ibuku bekerja sebagai petani mengolah sawah milik orang lain lain. Aku
segera menyambut mereka dengan senyuman. Kulihat wajah ayah dan ibuku sangat
lelah. Tubuh mereka bersimbah keringat. Kemudian aku segera menyiapkan teh
hangat untuk mereka. Saat kulihat wajah mereka hatiku sangat sedih ditambah
lagi aku teringat dengan kesalahan yang aku lakukan.Saat ini aku memang belum
bisa membahagiakan mereka tapi aku yakin suatu saat nanti aku pasti buat mereka
dan adikku bahagia.
Petang
mulai datang. Setelah mencuci pakaian, aku pun bersiap-siap untuk Sholat
Maghrib. Letak rumahku cukup jauh dari masjid. Aku harus menempuh jarak 2 Km
untuk sampai ke masjid. Maklumlah daerah rumahku masih perkampungan. Masyarakatnya
ramah-ramah dan bersifat kekeluargaan. Kadang aku pergi ke masjid menggunakan
sepeda dan kadangkala aku pergi dengan jalan kaki bersama ayah dan adikku
Abdullah. Setelah Sholat maghrib, aku, ayah dan adikku tidak langsung pulang
tetapi kami i’tikaf sebentar sambil menunggu Sholat Isya. Walaupun rumah kami
sangat jauh dari masjid tetapi kami tidak pernah putus asa untuk tetap pergi ke
masjid.
Aku
bangga terhadap ayahku, dia memang sosok ayah yang luar biasa. Dia berjuang
keras bersama ibuku untuk menghidupi kedua anaknya. Rasa lelah tak mematahkan
semangat mereka. Sawah yang luas menjadi saksi pengorbanan mereka. Aku sangat
bersyukur kepada Allah karena telah mengirimkan dua malaikat yang sangat baik
untukku dan adikku. Ayah dan ibuku selalu menyemangatiku agar aku kelak menjadi
orang yang berhasil di dunia apalagi di akhirat. Airmataku selalu meleleh
ketika aku teringat wajah ayah dan ibuku. Setiap malam aku selalu mendo’akan
ayah dan ibuku. Kadang aku menangis tersedu-sedu merenung perjuangan ayah dan
ibuku.
Setelah
Sholat Isya, aku, ayah dan adikku pulang. Dalam perjalanan pulang, kami biasa
bersenda gurau dan kadang ayahku juga bercerita tentang masa mudanya dahulu sehingga
membuat kami tidak merasa kelelahan dalam menempuh perjalanan pulang. Sesampai
di rumah, kulihat sosok wanita tua dengan senyumannya yang indah menyambut
kedatangan kami dan mempersilahkan kami untuk menyantap hidangan yang disiapkan
untuk kami. Hidup sangat terasa indah ketika aku dan keluargaku berkumpul. Aku
tak henti-hentinya bersyukur kepada Allah atas anugerah yang telah
diberikan-Nya kepadaku.
“Ya
Allah, segala puji bagi Engkau yang telah memberikan anugerah yang besar
kepadaku. Engkau telah berikan hamba keluarga yang sholeh dan sholeha. Ya
Allah, lindungilah hamba-hamba dan keluarga hamba dari marabahaya. Amiin…”
Inilah doaku setiap hari aku panjatkan.
Setelah
makan malam, seperti biasa aku selalu membuka buku pelajaranku dengan
menggunakan sebatang lilin sebagai alat penerangku belajar. Maklumlah, listrik
belum ada di kampungku. Sedangkan ayah, ibu dan adikku beristirahat melepas
lelah yang mereka rasakan selama seharian penuh. Ketika aku sedang asyik
membaca tiba-tiba adikku memanggil-manggil nama ibuku dalam tidurnya dan
kemudian terbangun, lalu aku pun bertanya kepada adikku.
“Ada
apa dik?” Tanyaku dengan rasa cemas.
“Ibu,
ibu, ibu!” Jawab adikku dengan menangis tersedu-sedu.
“Iya,
ada apa dengan ibu?” Tanyaku dengan rasa penasaran.
“Aku
mimpi buruk tentang ibu…”
Mungkin
adikku bermimpi buruk, kemudian aku pun menyuruh adikku untuk tidur lagi.
Adikku memang sering bermimpi buruk. Kadang membuat aku, ayah dan ibuku
terbangun karena jeritannya yang kuat.
Keesokan
harinya diperjalanan menuju sekolah adikku, adikku bercerita tentang mimpi
buruknya semalam. Dia mengatakan bahwa ibuku akan pergi, di dalam mimpinya.
Perasaan takut ada di benaknya, Jadi selama diperjalanan aku terus menghiburnya
agar dia bisa melupakan mimpi buruknya itu. Sesampainya di sekolahku, aku dipanggil
oleh Pak Usman. Aku merasa takut ketika aku akan menghadap Pak Usman. Ternyata
aku disuruh Pak Usman untuk ikut lomba Olimpiade Matematika tingkat kelurahan.
Aku merasa senang bercampur bingung mendengar berita ini. Rasanya aku ingin
cepat-cepat pulang untuk menyampaikan berita ini kepada ayah dan ibuku. Setelah
menjemput adikku dan kamipun langsung bergegas pulang. Sesampai di rumah
tubuhku terasa bergetar. Ku lihat sosok wanita tua terbaring lemah di tempat
tidurnya. Aku dan adikku langsung memeluknya dan air mataku langsung berlinang. Ayahku
mengatakan bahwa ibu pingsan ketika ia sedang mencangkul di sawah bersama Ayah.
Setelah ibuku sadar dari pingsannya, aku langsung bertanya kepada ibuku.
“Ibu,
kenapa?” Tanyaku dengan rasa khawatir.
“Ibu
hanya kelelahan. Ibu tidak apa-apa,” jawab ibuku dengan senyuman.
Kemudian
akupun menyampaikan berita yang aku dapat di sekolah kepada ayah dan ibuku.
Mereka sangat bangga kepadaku dan mendoakanku agar aku bisa menang dalam
perlombaan. Selama satu minggu aku mempersiapkan diriku untuk menghadapi lomba.
Telah tiba hari yang membuat jantungku berdetak kencang. Sebelum pergi
menghadapi lomba, aku meminta doa kepada adik, ayah dan ibuku agar aku dapat
memenangkan lomba. Ini untuk pertama kalinya aku mengikuti lomba yang sangat
banyak diminati oleh para siswa. Tanganku berkeringat ketika aku mengerjakan
soal lomba. Alhamdulillah, akhirnya akupun dapat menyelesaikan semua soal
lomba. Aku sangat bersyukur kepada Allah karena aku telah diberi kemudahan
dalam mengerjakan soal-soal lomba.
Ketika
hari pengumuman telah tiba, namaku dipanggil dan ternyata aku masuk tiga besar
dalam lomba itu dan akan dipertandingkan ke tingkat yang selanjutnya. Tak
kusangka aku bisa masuk tiga besar dalam lomba ini. Mungkin ini adalah awal dari prestasiku. Akan
aku hapus argument-argumen buruk orang lain tentang diriku. Pemuda seperti
diriku harus butuh perubahan. Kemarin aku tertidur sudah saatnya aku bangun.
Tidak akan aku lepaskan kesempatan ini.
Ketika
mendengar berita ini, ayah dan ibuku sangat senang dan mereka terus
menyemangatiku. Kemenangan ini menghantarkan aku ke tingkat kota, provinsi dan
saat ini aku mewakili provinsiku ke tingkat nasional. Tak sia-sia kerja kerasku
selama ini hingga membawaku menggapai prestasi yang gemilang. Setelah aku lulus
dari bangku SMA aku dibiayai pemerintah untuk melanjutkan studiku di
universitas terkenal dan terbaik di kotaku.
Hari
demi hari berlalu, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun waktu terasa
sangat cepat. Ayah dan ibuku semakin tua sedangkan aku dan adikku mulai
beranjak dewasa. Maut telah datang menghampiri ibuku yang ku sayang. Sebelum
Ibuku meninggal dunia ia berpesan kepadaku agar aku menjaga adikku dengan baik
dan menjadikan ia anak yang sukses seperti diriku. Dunia terasa gelap ketika Ibu
meninggalkanku. Hati terasa hampa tanpa ibu yang ku sayang. Kebahagiaan sedikit
demi sedikit mulai hilang. Aku terlalu sayang kepada ibuku. Ibuku sosok wanita
yang paling baik dalam hidupku. Air mataku berlinang ketika aku teringat akan
kebaikan ibuku. Sekarang hanya tinggal satu malaikat yang kumiliki yaitu ayahku.
Setelah
selesai dari bangku kuliah, aku di angkat menjadi dosen di universitas terbaik
di negaraku hingga aku diberi gelar Profesor termuda di negaraku. Ini bukanlah
prestasi terakhir dalam hidupku. Aku akan terus berprestasi hingga waktu
menenggelamkanku. Sekarang adikku “Abdullah” juga mengikuti jejakku dan ia
melanjutkan studinya di Saudi Arabia. Inilah perjalanan hidupku meski rumit
tetapi tetap ku jalani. Aku tak mengenal putus asa yang aku pikirkan bagaimana
usahaku dapat mengghantarkanku ke depan pintu kesuksesan. Kekuasaan bukan di tangan
manusia tetapi kekuasaan penuh itu berada di tangan sang raja dari segala raja.
Aku berasal dari keluarga yang biasa-biasa tetapi Allah telah memuliakanku
menjadi orang yang luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar