Rabu, 03 April 2013

DUA MALAIKAT DI BELAKANG PEMUDA


Oleh: Muhammad Fuad, MAN 1 Ptk

Tepat pukul 02:30 alarmku berbunyi kencang menggetarkan gendang telingaku. Akupun bergegas bangun dari ranjangku. Setelah mempersiapkan diri untuk sholat, lalu kuhamparkan sejadah burukku kemudian bermunajat kepada Sang Raja dari Segala Raja. Setelah itu, aku pun membawa buku pelajaranku. Beginilah kegiatanku setiap malam.
Aku hanya anak biasa yang berasal dari keluarga biasa-biasa dan keluargaku berlatar belakang biasa-biasa pula. Sekarang aku duduk di bangku kelas XII SMA. Ketika surya mulai manampakkan cahayanya, aku berpamitan kepada kedua orang tuaku kemudian berangkat mengantarkan adikku ke sekolah menggunakan sepeda yang rantainya sering lepas dari katrolnya. Setelah itu aku langsung berangkat menuju sekolahku. Dengan kopiah putih kusam aku melangkahkan kakiku ke kelas. Seperti biasa ejekan dari teman-teman terdengar ditelingaku sehingga aku terbiasa dengan ejekan itu. Tetapi aku tak peduli dengan ejekan itu. Setelah aku duduk di bangkuku, sesosok teman terbaik menyapaku.
“Assalamu’alaikum Ahmad.”
“Wa’alaikumussalam Umar…” Jawabku sambil senyum.
“Bagaimana keadaanmu sekarang?”
“Alhamdulillah baik.”
Setelah menanyakan masing-masing kabar di antara kami. Kami pun mulai belajar bersama untuk mengulang pelajaran yang telah lalu. Ting…ting…ting…, lonceng sekolahku berbunyi tanda jam belajar akan dimulai. Hari ini jam pelajaran pertama adalah matematika. Setelah kami membaca do’a, Pak Usman memerintahkan untuk mengeluarkan buku PR. Aku baru teringat ternyata ada tugas yang diberikan Pak Usman minggu lalu. Aku belum sama sekali mengerjakannya. Akhirnya aku dihukum pak Usman. Memang buruk nasibku hari ini. Setelah aku pulang sekolah, aku pun bergegas untuk menjemput adikku kesekolahnya. Kasihan adikku, dia pasti sangat lama menungguku. Sesampai di sekolahnya, aku melihat adikku duduk di pos buruk di dekat sekolahnnya sambil memegang perutnya.
“Kenapa Dik?” Tanyaku dengan wajah senyum.
“Aku lapar?” Jawab adikku dengan wajah mengeluh.
“Kenapa tidak jajan di sekolah?” Jawabku dengan cemas.
Kemudian akupun segera mengajak adikku untuk pulang. Panas matahari menyengat kulitku. Aku semakin cemas melihat keadaan adikku yang sedang kelaparan. Akhirnya kamipun sampai di rumah. Lalu kusuruh adikku untuk segera makan. Akupun mulai menyandarkan tubuhku di kursi untuk beristirahat sejenak sambil mengingat-ingat kesalahanku hari ini. Kemudian aku melangkahkan kakiku menuju pintu depan rumahku. Kulihat dari kejauhan ayah dan ibuku yang baru pulang dari sawah. Ayah dan ibuku bekerja sebagai petani mengolah sawah milik orang lain lain. Aku segera menyambut mereka dengan senyuman. Kulihat wajah ayah dan ibuku sangat lelah. Tubuh mereka bersimbah keringat. Kemudian aku segera menyiapkan teh hangat untuk mereka. Saat kulihat wajah mereka hatiku sangat sedih ditambah lagi aku teringat dengan kesalahan yang aku lakukan.Saat ini aku memang belum bisa membahagiakan mereka tapi aku yakin suatu saat nanti aku pasti buat mereka dan adikku bahagia.
Petang mulai datang. Setelah mencuci pakaian, aku pun bersiap-siap untuk Sholat Maghrib. Letak rumahku cukup jauh dari masjid. Aku harus menempuh jarak 2 Km untuk sampai ke masjid. Maklumlah daerah rumahku masih perkampungan. Masyarakatnya ramah-ramah dan bersifat kekeluargaan. Kadang aku pergi ke masjid menggunakan sepeda dan kadangkala aku pergi dengan jalan kaki bersama ayah dan adikku Abdullah. Setelah Sholat maghrib, aku, ayah dan adikku tidak langsung pulang tetapi kami i’tikaf sebentar sambil menunggu Sholat Isya. Walaupun rumah kami sangat jauh dari masjid tetapi kami tidak pernah putus asa untuk tetap pergi ke masjid.
Aku bangga terhadap ayahku, dia memang sosok ayah yang luar biasa. Dia berjuang keras bersama ibuku untuk menghidupi kedua anaknya. Rasa lelah tak mematahkan semangat mereka. Sawah yang luas menjadi saksi pengorbanan mereka. Aku sangat bersyukur kepada Allah karena telah mengirimkan dua malaikat yang sangat baik untukku dan adikku. Ayah dan ibuku selalu menyemangatiku agar aku kelak menjadi orang yang berhasil di dunia apalagi di akhirat. Airmataku selalu meleleh ketika aku teringat wajah ayah dan ibuku. Setiap malam aku selalu mendo’akan ayah dan ibuku. Kadang aku menangis tersedu-sedu merenung perjuangan ayah dan ibuku.
Setelah Sholat Isya, aku, ayah dan adikku pulang. Dalam perjalanan pulang, kami biasa bersenda gurau dan kadang ayahku juga bercerita tentang masa mudanya dahulu sehingga membuat kami tidak merasa kelelahan dalam menempuh perjalanan pulang. Sesampai di rumah, kulihat sosok wanita tua dengan senyumannya yang indah menyambut kedatangan kami dan mempersilahkan kami untuk menyantap hidangan yang disiapkan untuk kami. Hidup sangat terasa indah ketika aku dan keluargaku berkumpul. Aku tak henti-hentinya bersyukur kepada Allah atas anugerah yang telah diberikan-Nya kepadaku.
“Ya Allah, segala puji bagi Engkau yang telah memberikan anugerah yang besar kepadaku. Engkau telah berikan hamba keluarga yang sholeh dan sholeha. Ya Allah, lindungilah hamba-hamba dan keluarga hamba dari marabahaya. Amiin…” Inilah doaku setiap hari aku panjatkan.
Setelah makan malam, seperti biasa aku selalu membuka buku pelajaranku dengan menggunakan sebatang lilin sebagai alat penerangku belajar. Maklumlah, listrik belum ada di kampungku. Sedangkan ayah, ibu dan adikku beristirahat melepas lelah yang mereka rasakan selama seharian penuh. Ketika aku sedang asyik membaca tiba-tiba adikku memanggil-manggil nama ibuku dalam tidurnya dan kemudian terbangun, lalu aku pun bertanya kepada adikku.
“Ada apa dik?” Tanyaku dengan rasa cemas.
“Ibu, ibu, ibu!” Jawab adikku dengan menangis tersedu-sedu.
“Iya, ada apa dengan ibu?” Tanyaku dengan rasa penasaran.
“Aku mimpi buruk tentang ibu…”
Mungkin adikku bermimpi buruk, kemudian aku pun menyuruh adikku untuk tidur lagi. Adikku memang sering bermimpi buruk. Kadang membuat aku, ayah dan ibuku terbangun karena jeritannya yang kuat.
Keesokan harinya diperjalanan menuju sekolah adikku, adikku bercerita tentang mimpi buruknya semalam. Dia mengatakan bahwa ibuku akan pergi, di dalam mimpinya. Perasaan takut ada di benaknya, Jadi selama diperjalanan aku terus menghiburnya agar dia bisa melupakan mimpi buruknya itu. Sesampainya di sekolahku, aku dipanggil oleh Pak Usman. Aku merasa takut ketika aku akan menghadap Pak Usman. Ternyata aku disuruh Pak Usman untuk ikut lomba Olimpiade Matematika tingkat kelurahan. Aku merasa senang bercampur bingung mendengar berita ini. Rasanya aku ingin cepat-cepat pulang untuk menyampaikan berita ini kepada ayah dan ibuku. Setelah menjemput adikku dan kamipun langsung bergegas pulang. Sesampai di rumah tubuhku terasa bergetar. Ku lihat sosok wanita tua terbaring lemah di tempat tidurnya. Aku dan adikku langsung memeluknya dan  air mataku langsung berlinang. Ayahku mengatakan bahwa ibu pingsan ketika ia sedang mencangkul di sawah bersama Ayah. Setelah ibuku sadar dari pingsannya, aku langsung bertanya kepada ibuku.
“Ibu, kenapa?” Tanyaku dengan rasa khawatir.
“Ibu hanya kelelahan. Ibu tidak apa-apa,” jawab ibuku dengan senyuman.
Kemudian akupun menyampaikan berita yang aku dapat di sekolah kepada ayah dan ibuku. Mereka sangat bangga kepadaku dan mendoakanku agar aku bisa menang dalam perlombaan. Selama satu minggu aku mempersiapkan diriku untuk menghadapi lomba. Telah tiba hari yang membuat jantungku berdetak kencang. Sebelum pergi menghadapi lomba, aku meminta doa kepada adik, ayah dan ibuku agar aku dapat memenangkan lomba. Ini untuk pertama kalinya aku mengikuti lomba yang sangat banyak diminati oleh para siswa. Tanganku berkeringat ketika aku mengerjakan soal lomba. Alhamdulillah, akhirnya akupun dapat menyelesaikan semua soal lomba. Aku sangat bersyukur kepada Allah karena aku telah diberi kemudahan dalam mengerjakan soal-soal lomba.
Ketika hari pengumuman telah tiba, namaku dipanggil dan ternyata aku masuk tiga besar dalam lomba itu dan akan dipertandingkan ke tingkat yang selanjutnya. Tak kusangka aku bisa masuk tiga besar dalam lomba ini.  Mungkin ini adalah awal dari prestasiku. Akan aku hapus argument-argumen buruk orang lain tentang diriku. Pemuda seperti diriku harus butuh perubahan. Kemarin aku tertidur sudah saatnya aku bangun. Tidak akan aku lepaskan kesempatan ini.
Ketika mendengar berita ini, ayah dan ibuku sangat senang dan mereka terus menyemangatiku. Kemenangan ini menghantarkan aku ke tingkat kota, provinsi dan saat ini aku mewakili provinsiku ke tingkat nasional. Tak sia-sia kerja kerasku selama ini hingga membawaku menggapai prestasi yang gemilang. Setelah aku lulus dari bangku SMA aku dibiayai pemerintah untuk melanjutkan studiku di universitas terkenal dan terbaik di kotaku.
Hari demi hari berlalu, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun waktu terasa sangat cepat. Ayah dan ibuku semakin tua sedangkan aku dan adikku mulai beranjak dewasa. Maut telah datang menghampiri ibuku yang ku sayang. Sebelum Ibuku meninggal dunia ia berpesan kepadaku agar aku menjaga adikku dengan baik dan menjadikan ia anak yang sukses seperti diriku. Dunia terasa gelap ketika Ibu meninggalkanku. Hati terasa hampa tanpa ibu yang ku sayang. Kebahagiaan sedikit demi sedikit mulai hilang. Aku terlalu sayang kepada ibuku. Ibuku sosok wanita yang paling baik dalam hidupku. Air mataku berlinang ketika aku teringat akan kebaikan ibuku. Sekarang hanya tinggal satu malaikat yang kumiliki yaitu ayahku.
Setelah selesai dari bangku kuliah, aku di angkat menjadi dosen di universitas terbaik di negaraku hingga aku diberi gelar Profesor termuda di negaraku. Ini bukanlah prestasi terakhir dalam hidupku. Aku akan terus berprestasi hingga waktu menenggelamkanku. Sekarang adikku “Abdullah” juga mengikuti jejakku dan ia melanjutkan studinya di Saudi Arabia. Inilah perjalanan hidupku meski rumit tetapi tetap ku jalani. Aku tak mengenal putus asa yang aku pikirkan bagaimana usahaku dapat mengghantarkanku ke depan pintu kesuksesan. Kekuasaan bukan di tangan manusia tetapi kekuasaan penuh itu berada di tangan sang raja dari segala raja. Aku berasal dari keluarga yang biasa-biasa tetapi Allah telah memuliakanku menjadi orang yang luar biasa.
  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar