Rabu, 03 April 2013

Antara Aku dan Perjuangan


Antara Aku dan Perjuangan
Oleh: Anita Jogi Nasution, SMAN 9 Ptk #juara3
Ku tahu, aku bukanlah orang yang tergolong mampu. Ku tahu, Ibuku hanya seorang tukang cuci dan Ayahku pergi meninggalkan kami entah ke mana. Sementara kakakku, seorang pengangguran yang sedang mencari kerja dengan berbekal ijazah SMP. Dan aku? Seorang pelajar di sebuah SMA favorit, yang masih tetap sekolah karena beasiswa.
“Hey Farah, nanti sore kita jalan yuk”, kata Lani padaku.
“Ke mana Lan?”, tanyaku.
“Ke mall. Sama Divan, Ghea, dan Heru”, jawab Lani.
“Maaf  Lan, tapi nanti sore aku harus bantu Ibuku”, jawabku sambil tersenyum.
“Kamu payah, kalo diajakin suka nggak mau”, jawab Lani cemberut dan pergi meninggalkanku.
Aku hanya tersenyum melihatnya pergi. Wajar saja ia cemberut seperti itu, karena aku punya seribu alasan untuk menolak ajakkannya. Mereka berkali-kali mengajakku pergi dan berkali-kali pula aku menolaknya. Bukannya aku tidak mau bergaul dengan mereka atau harus membantu ibuku, bukan. Aku tahu tujuan mereka hanya bermain-main di sana. Untuk itu semua dibutuhkan uang, dan aku tak punya untuk melakukan hal semacam itu. Walau ku tahu mereka akan mentraktirku, tetap saja aku punya perasaan tak enak. Mereka semua sudah terlalu baik padaku.
Mungkin kehidupan remajaku begitu berat, tidak seperti anak remaja pada umumnya. Pagi-pagi buta sudah harus bangun, membantu tetangga yang bekerja di pasar dengan mengangkut barang dagangannya dan mendapat upah yang sungguh sangat minim. Setelah itu membantu Ibu mencuci pakaian tetangga tentunya dengan dibayar juga, dan pergi sekolah dengan berjalan kaki yang lumayan jauh jaraknya. Hanya sepulang sekolah dan menjelang petanglah waktuku untuk belajar, karena sehabis magrib hingga jam sepuluh malam aku menjadi pelayan di sebuah rumah makan dekat rumahku. Setelah itu aku pulang dan bangun di pagi buta lagi, begitu seterusnya. Jika dipikir-pikir, tubuhku yang kecil ini takkan mampu mengerjakan itu semua. Tapi di sinilah Allah menunjukkan kuasa-Nya. Ia senantiasa memberi kemudahan bagi siapa saja hamba-Nya yang mau berusaha. Sesungguhnya aku masih bersyukur dengan keadaanku sekarang ini, walaupun hidup serba pas-pasan dan terkadang kekurangan, setidaknya keluargaku tak pernah kelaparan dan aku masih bisa bersekolah dengan bantuan beasiswa. Pasti masih banyak orang di luar sana yang tidak seberuntung diriku.
“Farah,  akhir-akhir ini kamu harus banyak istirahat ya. Kamu harus fokus karena Olimpiade tinggal sebulan lagi”, kata Bu Laila di sela-sela latihan buat Olimpiade.
“Iya Bu, pulang sekolah Farah istirahat kok”, jawabku. Bu Laila mungkin khawatir padaku karena Bu Laila tahu apa saja aktivitasku di luar sekolah. Bu Laila hanya takut aku tidak fokus dan gagal dalam merebut medali di Olimpiade nanti.
Hari ini aku pulang begitu sore karena ada persiapan untuk Olimpiade Kimia, sepulang latihan, aku menyempatkan diri untuk solat di masjid yang ada di sekolah. Karena kalau sudah pulang ke rumah takutnya aku langsung tidur hingga tidak solat ashar. Aku takut sekali, karena hal ini pernah terjadi.
Ku lihat di sore hari sekolah begitu sepi. Hanya ada beberapa siswa yang tersisa di ruang OSIS. Mungkin mereka sehabis rapat dan untuk aktivitas ekskul hari ini tidak ada karena memang tidak ada jadualnya.
“Assalamualaikum Farah”, kata seseorang di sampingku saat aku memakai sepatu.
“Walaikumsalam”, jawabku sambil melihat ke arah sumber suara. Ternyata itu Gilang, seorang anggota OSIS yang beberapa hari lalu “menembakku” tetapi aku tolak. Aku tidak sempat untuk berpacaran dan kemudian galau berhari-hari seperti teman-temanku yang berpacaran. Aku harus fokus sekolah dulu. Lagian, pacaran kan haram di dalam Agama Islam.
“Pulang bareng yuk”, kata Gilang mengajakku.
“Tapi rumah kita kan berjauhan, nggak satu arah”, jawabku sambil tersenyum.
“Nggak papa kok. Aku bawa motor ini. Liat tuh, langit udah mendung, ntar lagi pasti ujan”, jawabnya sambil menunjuk ke langit.
Betul juga sih kata Gilang. Langit udah mendung, sementara tubuhku sudah begitu lelah. Ku putuskan saja menerima ajakkannya. Karena kalau dipikir-pikir juga aku bakal kehujanan di jalan dan kalau sakit, berabe juga. Kemudian aku pun menyetujuinya dan pulang dengan dibonceng Gilang.
Sebulan pun berlalu dengan cepatnya. Besok adalah hari yang mendebarkan bagiku, karena besok seleksi Olimpiade se Indonesia dan aku ikut yang cabang kimianya. Aku sudah berusaha maksimal, berdo’a juga udah, sekarang tinggal tawakkal. Aku tahu Allah pasti memberikan yang terbaik bagiku, apapun itu hasilnya.
“Bu, doain Farah ya, semoga Farah bisa jawab semua soal-soal dengan benar”, kataku sambil menyalami Ibu.
“Iya Farah, Ibu akan slalu berdoa untukmu. Semoga sukses ya Nak, hati-hati di jalan”, jawab Ibu sambil mencium pipiku. Aku pun membalas mencium pipinya.
“Pergi dulu ya Bu, Assalamualaikum”, kataku berpamitan.
“Walaikumsalam sayang”, jawab Ibu tersenyum. Hatiku merasa bahagia, merasa lega, melihat Ibu tersenyum. Senyum Ibu begitu teduh. Aku suka sekali melihatnya.
Setibanya aku di tempat perlombaan, aku berkumpul bersama teman-temanku yang juga mengikuti Olimpiade. Aku sangat berdebar-debar sekali, karena ini kompetisi tingkat Nasional, yang kebetulan daerahku lah yang sebagai tuan rumahnya. Kami berdo’a bersama, dibimbing oleh pembimbing kami dari pejabat Diknas Provinsi, semoga kami semua bisa menjawab soal-soal dengan benar dan mudah.
Tahap demi tahap ku lalui. Aku optimis akan meraih medali emas, walaupun sempat merasa ciut melihat sainganku yang lumayan berat dari daerah lain. Dengan persaingan yang sangat sengit, Alhamdulillah, akhirnya aku berhasil meraih medali emas di cabang kimia. Begitu juga teman-temanku. Mereka ada yang mendapat medali emas, perunggu, ada pula yang tidak mendapat medali. Dengan medali yang kami raih, kami pun berhak mewakili Indonesia untuk Olimpiade di tingkat Internasional.
“Cieee yang menang olimpiade, makan-makan yaa..”, goda Ghea padaku saat jam istirahat.
“Iya nih, makan bakso di kantin juga nggak papa, asal ditraktir aja”, timpal Divan, sambil tertawa.
“Iya-iya, yuk kita ke kantin, ajak Lani sama Heru juga. Mereka dimana?”, tanyaku celingak celinguk. Mereka pun dengan sigap mencarinya.
Setelah semua berkumpul, kami semua pun ke kantin, dan aku mentraktir mereka. Yaaaa itung-itung syukuran dan balas budi, karna mereka sering membantuku. Alhamdulillah, mumpung ada rezeki lebih ini…
“Assalamualaikum, Farah pulaaaang”, kataku gembira.
“Walaikumsalam. Seneng banget kayaknya anak Ibu”, jawab Ibu.
“Iya Bu, dapat bonus nih dari sekolah. Lumayan gede. Alhamdulillah ya Bu”, jawabku berbinar-binar. Mungkin jika digambarkan di film kartun, sudah banyak bintang-bintang dan bidadari yang menari di sekelilingku. Hahaha.
Belakangan ini, aku lebih sibuk dengan persiapan Olimpiade. Terpaksa, bekerja menjadi pelayan di rumah makan pun aku hentikan, karena aku butuh waktu ekstra untuk persiapan Olimpiade. Ibu dan kakakku selalu mendukungku. Aku bersyukur sekali mempunyai keluarga seperti mereka, walaupun Ayah sudah pergi, tak bertanggung jawab terhadap kami.
“Bu, Farah pengen banget kuliah. Pengen kuliah di Universitas Cambridge itu lho bu, biar bisa ketemu sama Skandar Keynes”, kataku sambil tertawa di suatu senja. Ya, Skandar Keynes adalah aktor favoritku. Aku tahu, itu hanya impianku yang terlalu tinggi, yang sangat mustahil untuk dicapai. Untuk kuliah di dalam negeri saja aku belum tentu mampu, apalagi di luar negeri yang membutuhkan biaya mahal. Kalau ngejar beasiswa lagi, sedikit sekali harapan untuk mendapatkannya.
“Maafkan Ibu, Farah, Ibu nggak punya uang kalo kuliah di sana. Kalo kamu kuliah di sini, mungkin Ibu masih bisa mengusahakannya. Makanya kamu belajar yang rajin, biar dapat beasiswa lagi. Kamu tau kan kondisi kita bagaimana”, kata Ibu sambil mengelus-elus kepalaku dengan penuh ketulusan.
“Iya Bu, Farah ngerti. Farah pengen banget Bu, Farah pengen mencapai cita-cita Farah, ngebahagiain Ibu sama Kak Lia. Semoga kesampaian ya Bu”, kataku penuh harap.
“Amin Nak, selama ini kamu udah buat Ibu bahagia kok”, kata Ibu tersenyum. Akupun ikut tersenyum.
“Oh iya Bu, bonus buat peraih medali Olimpiade di Prancis nanti gede lho Bu, katanya sih kuliahnya dibiayain sampe selese. Tapi nggak tau juga kuliah di Universitas mana”, kataku.
“Beruntung sekali ya bagi yang mendapatkannya. Semoga kamu orang yang beruntung itu Nak”, kata Ibu berdoa penuh harap. Kami pun mengaminkannya bersama-sama.
Persiapan buat Olimpiade sudah cukup matang, dibimbing oleh guru dari pusat. Terkadang aku merinding sendiri, dan tidak menyangka dengan apa yang dapat aku lakukan. Hehehe. Itu semua pastinya tak terlepas dari bantuan Allah dan support dari Ibu, Kak Lia, dan juga orang-orang di sekelilingku.
“Farah…”, sapa seseorang disampingku. Aku hapal betul itu pasti suara Gilang, yang tiap istirahat mampir ke kelasku, XI IPA 2.
“Iya Gilang”, jawabku tersenyum.
“Semoga sukses ya buat Olimpiadenya nanti. Kamu hebat banget lho bisa mewakili Indonesia di Prancis nanti. Bangga deh punya temen kayak kamu”, kata Gilang memuji.
“Biasa aja kok Gilang, ini semua karna Allah dan dukungan kalian juga”, jawabku tersenyum.
“Hehehe, walopun begitu jangan sombong ya Farah, tetep inget sama kita-kita, terutama sama aku”, kata Gilang sambil memainkan jambulnya.
“Iya Lang, Insha Allah, aku inget kalian, tapi kalo sama kamu nggak”, kataku sambil menjulurkan lidah.
“Huhuhu gitu ya, males deh temenan sama kamu”, kata Gilang pura-purah marah.
“Hehehe siapa juga yang pengen temenan sama kamu?”, tanyaku sok sinis.
“Kalo nggak temenan, maunya apa dong? A couple? One day ya..”, kata Gilang sambil tertawa. Aku hanya tersenyum, salah tingkah melihatnya. Ada-ada saja Gilang ini.
“Hehehe, kapan kamu pergi ke Prancis?”, tanya Gilang kemudian.
“Insha Allah minggu depan, tapi besok aku udah ke Jakarta, karena ngumpul dulu bareng anak-anak yang lain. Latihan sebentar, trus dikasih pengarahan dan bimbingan dulu di sana”, jawabku.
“Oh iya, bagus deh Fa. Hati-hati ya, jangan lupa solat, semoga selamat sampe tujuan. Semoga menang. Bangga deh sama kamu. Nih ada sesuatu dari aku”, kata Gilang sambil menyerahkan bungkusan.
“Iya Lang, makasih banget ya. Tapi ini apa?”, tanyaku heran.
“Buka aja di rumah. Semoga kamu suka ya”, kata Gilang, bergegas pergi.
“Iya, makasih banyak ya Lang”, kataku setengah berteriak, karna ia sudah berada di depan pintu kelas.
“Iya sama-sama Fa. Aku masih nunggu kamu”, jawab Gilang setengah berteriak juga.
Aku tertegun. Sementara teman-temanku yang lain menyoraki dengan hebohnya. Aku hanya tertawa menanggapi teman-temanku yang memang terkadang norak. Hahaha.
Segala persiapan telah selesai. Tak lelah aku berdo’a, memohon kepada Allah agar semuanya dimudahkan. Aku senang sekaligus khawatir karena ini perjalanan pertamaku ke luar negeri, tapi singgah dulu di Jakarta sih. Hehehe.
“Ibu, do’ain Farah ya Bu. Semoga Farah bisa menang. Farah pengen buat Ibu bangga sama Farah. Farah pengen ngebahagiain Ibu. Maafin Farah bu udah banyak salah sama Ibu. Sering nyusahin Ibu, sering buat Ibu kesel. Makasih juga Bu udah sayang sama Farah, udah ngerawat Farah hingga Farah besar kayak gini. Walopun Farah nggak mungkin bisa membalas jasa Ibu, setidaknya Ibu bahagia punya anak kayak Farah”, kataku berkaca-kaca.
“Iya Nak, Ibu slalu berdoa untukmu tanpa kamu minta sekalipun. Ibu udah bangga kok, udah bahagia punya anak kaya Farah dan Kak Lia, Farah dan Kak Lia adalah anugerah terindah yang Allah berikan buat Ibu. Semoga kamu sukses nak, semoga kamu bisa menjadi apa yang kamu cita-citakan. Justru Ibu yang minta maaf karena nggak pernah memenuhi apa yang kamu butuhkan, membuat kamu harus bekerja di usia sekolah saat ini. Percayalah Nak, kemanapun kamu pergi, do’a Ibu selalu menyertaimu”, kata Ibu memelukku dengan hangat. Tenang sekali aku berada di dalam dekapan Ibu. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Makasih juga Kak Lia, karena slalu ada buat Farah. Yang slalu membantu Farah kalo ada kesulitan, maaf juga udah nyusahin kakak. Do’ain Farah ya kak, semoga Farah bisa jadi yang terbaik di sana”, kataku lalu memeluk Kak Lia.
“Iya Fa. Maafin kakak juga, kakak nggak bisa jadi kakak yang baik buat kamu. Pasti kakak do’ain kamu supaya jadi yang terbaik. Kakak sayang kamu Farah”, ucap Kak Lia, memelukku erat sekali. Kemudian aku, Ibu, dan Kak Lia pun berpelukan bersama-sama.
Aku pun pergi melangkah. Ibu, Kak Lia, dan keempat sahabatku, mengantarku hingga bandara. Sebelum pesawat take off, kupeluk lagi Kak Lia dan juga Ibu. Rasanya tak ingin aku melepaskan pelukan Ibu. Pelukan hangatnya yang menenangkanku. Senyuman teduhnya yang meluluhkan perasaanku, dan kasih sayang serta ketulusan cintanya tak pernah aku ragukan. Tapi bagaimanapun juga, aku harus tetap pergi, membawa nama Indonesia, semoga aku bisa sukses di ajang Internasional ini.
Setelah aku sampai di Jakarta, aku dan teman-teman seperjuangan diberi pengarahan, bimbingan, dan kami berdo’a bersama. Setelah kurang lebih seminggu menginap di Jakarta, kami pergi menuju Prancis, tempat ajang Internasional itu diadakan.
Sesampainya di sana, aku senang sekali, menara Eifell yang biasa ku lihat di tivi, kini aku melihatnya secara langsung. Tak lupa aku mengabadikan momen indah ini. Kesempatan yang sangat luar biasa bagiku, anak seorang tukang cuci pakaian.
Di Prancis, tepatnya di kota Paris, tempat ajang berlangsung selama beberapa hari. Sama seperti Olimpiade di Indonesia, semua ada tahapannya. Tes tertulis, eksperimen, babak tanya jawab, dan rebutan. Aku berdebar sekali. Sangat gugup. Perasaanku campur aduk saat ini. Jika aku mendapat medali di Olimpiade ini, akan ku persembahkan buat Ibu. Tunggu Farah ya Bu, jika pulang nanti, Insha Allah akan membawa medali emas buat Ibu. Tetap do’akan Farah ya Bu….
            Lima hari berlalu, Alhamdulillah, aku telah sampai di babak rebutan. Di sini adalah babak yang paling mendebarkan. Karena, mesti cepat tanggap terhadap soal yang diberikan. Apalagi memakai Bahasa Inggris, mesti pasang telinga dengan teliti nih hehehe. Rasanya sulit dipercaya ya, aku bisa berkumpul di sini, bersama orang-orang hebat dari berbagai Negara. Terima kasih Ya Allah, ini semua pasti karena kuasa-Mu.
            Persaingan nilai sangat ketat, semua ingin menjadi yang terbaik. Sementara ini, Belanda unggul dengan poin tertinggi. Disusul oleh tuan rumah, Prancis. Rasanya aku hampir putus asa, tapi aku akan tetap berusaha mengejar ketertinggalan. Dan akhirnya, ya! Aku mengejar nilai yang diperoleh Belanda dan Prancis, hingga melebihinya dan akhirnya aku, Farah Shillafanissa, wakil dari Indonesia meraih poin tertinggi hingga akhir pertandingan, berhak atas medali emas dan biaya kuliah gratis di sebuah Universitas, yang ternyata Universitas impianku, yaitu Cambridge! Aku spontan sujud syukur, tak hentinya bersyukur pada Allah, aku menangis haru. Ibu, medali emas ini kupersembahkan untukmu Ibu! Tak sabar aku ingin tunjukkan pada Ibu! Aku tak sabar ingin cepat-cepat pulang ke Indonesia, bertemu Ibu dan Kak Lia! Tunggu Farah ya Bu….
            Hari yang kutunggu pun tiba. Kami rombongan Merah Putih akan pulang ke Tanah Air. Rombongan Indonesia ternyata banyak sekali memborong medali. Pengalaman yang luar biasa. Kudapatkan teman dari berbagai belahan dunia, yang berbeda bahasa dan budaya. Pengalaman yang sangat berharga, tak sabar ingin kuceritakan kepada Ibu dan Kak Lia jika sudah sampai di rumah.
            Setelah beberapa jam berada di atas udara, akhirnya sampai juga di Indonesia dengan selamat. Menginap dulu di Jakarta selama sehari, dan esok harinya aku pulang bersama pembimbing juga teman-teman yang ikut Olimpiade dari provinsiku.
            Aku diantar pulang ke rumah memakai mobil oleh petugas dari provinsi, karena Kak Lia bilang, Kak Lia dan Ibu tidak sempat menjemputku di bandara. Aku senang, aku merasa diistimewakan sekali. Dari kejauhan kulihat orang-orang ramai berkerumun. Aku tahu, mereka pasti menyambut kedatanganku. Sesampai aku di depan rumah, aku sujud syukur. Ternyata ada pengajian untuk menyambut kedatanganku. Wah, Ibu, sampai bawa rombongan pengajian segala. Ku lihat Kak Lia, dan ternyata ada juga Om Yudi sama Tante Fira, menyambutku sambil menangis, dan memelukku dengan erat. Aku juga menangis, aku terharu.
“Ibu mana Kak?”, tanyaku sambil menggenggam medali emas yang kuraih. Tak sabar ingin kupamerkan pada Ibu. Kak Lia hanya menangis. Om Yudi dan Tante Fira juga menangis. Ku lihat semua orang yang berada di rumah juga menangis. Ada apa ini?
“Ibu mana Kak?”, tanyaku sekali lagi sambil mengguncangkan tubuhnya. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres.
“Ibu… Ibu udah nggak ada Fa… Ibu udah pergi sejak 3 hari yang lalu, ditabrak minibus pas mau nyeberang”, jawab Kak Lia terbata-bata.
“Nggak mungkin Kak. Ibu pasti ngumpet. Ibu di mana sih Kak?”, tanyaku sekali lagi sambil berusaha tertawa tapi mata sudah berkaca-kaca. Berharap semua ini hanya lelucon.
“Kamu harus ikhlas, Farah. Ibu udah pergi”, kata Tante Fira sambil memelukku.
“Ibu nggak mungkin pergi kan?! Liat Bu, Farah bawa apa? Medali emas nih Bu, ini buat Ibu!”, kataku sambil mengangkat medali yang kupegang.
“Farah, Ibu udah pergi. Ikhlaskan lah Nak”, kata Om Yudi.
Aku menangis sejadi-jadinya. Air mata kebahagiaan berubah menjadi air mata kesedihan. Aku terpukul sekali atas musibah ini. Aku meronta sekuat-kuatnya hingga semua terasa gelap.

Juli, 2012.
“Ibu, Farah pergi dulu ya Bu. Farah ingin menjadi apa yang Farah cita-citakan. Farah dapet beasiswa kuliah di Cambridge lho Bu, Universitas impian Farah, yang waktu itu Farah certain ke Ibu. Ibu ingat kan? Makasih buat semuanya Bu. Ya Allah, tolong jaga Ibu ya, tempatkan Ibu di tempat yang paling indah, yang paling nyaman. Jauhkan Ibu dari siksa api neraka Ya Allah. Amin…”, do’aku di pusara Ibu, sekalian pamitan.
            Sekarang aku sudah lulus SMA, aku akan melanjutkan kuliah di Cambridge, dengan bantuan beasiswa. Andai Ibu masih ada, Ibu pasti kuajak tinggal di sana. Selamat tinggal Ibu, selamat tinggal Kak Lia, yang tak mungkin ku ajak serta karena sudah harus mengurus keluarga baru Kakak, selamat tinggal teman-teman, selamat tinggal Indonesia, aku ke Inggris dulu ya, untuk melanjutkan pendidikanku. Aku akan kembali setelah aku lulus kuliah nanti.
            Setelah beberapa tahun kuliah, aku akhirnya lulus dengan predikat pujian. Iri juga ya melihat teman-temanku yang sehabis wisuda sudah memesan studio foto untuk foto bersama keluarga mereka, sedangkan aku harus pulang ke apartemen sendirian dan mempersiapkan kepulanganku ke Indonesia. Tapi aku tetap senang kok, walaupun tiada yang datang diwisudaku, Kak Lia, dan keluargaku yang lain, juga sahabatku di SMA, Lani, Ghea, Heru, dan Divan, menelponku dan memberiku ucapan selamat. Katanya mereka akan menjemputku di bandara nanti. Excited banget!
            Setelah beberapa jam di atas burung besi ini, akhirnya aku sampai juga di Jakarta dan akan melanjutkan penerbangan ke Surabaya. Setelah mengambil bagasi, aku pun keluar disambut Kak Lia, keluargaku, juga sahabat SMA ku. Aku kangen sekali dengan mereka. Aku menangis haru.
“Farah, ada kejutan nih!”, kata Heru tiba-tiba, diikuti dengan suit-suitan genit dari teman-temanku.
“Apa?”, tanyaku sambil tertawa.
Tiba-tiba sesosok makhluk tampan muncul dihadapanku. Aku terkejut sekali, ternyata itu Gilang! Speechless…
“Assalamualaikum Farah. Selamat ya Farah atas kesuksesan kamu. Aku masih nunggu kamu lho sampe sekarang”, ucap Gilang, yang ternyata sekarang telah menjadi seorang dokter. Aku terdiam. Begitu gigihnya ia menungguku hingga sekarang. Ia ingat kata-kataku saat aku menolaknya, karena aku ingin mendapat sarjana dulu baru mulai mencari pasangan. Sebagai wanita aku merasa takjub. Ucapan Gilang mendapat respon sorak sorai genit dari keluarga dan teman-temanku , persis seperti di kelas saat istirahat di SMA dulu.
Aku merasa bahagia sekali, lulus dari Universitas yang aku dambakan, kepulanganku disambut Kak Lia, keluarga dan teman-teman, orang-orang yang aku sayangi, dan Gilang, yang masih setia menungguku hingga sekarang. Aku seperti wanita paling beruntung di dunia. Lengkap sudah kebahagiaanku. Andai ada Ibu dan juga Ayah di sini, kebahagiaanku pasti lebih lengkap lagi.
Tapi aku bersyukur Ya Allah, atas nikmat-Mu yang tak terhingga ini. Buat semuanya, jangan takut bermimpi, terus berusaha untuk semua mimpi yang ingin kamu capai, walaupun terlihat mustahil, ingatlah, tiada yang mustahil jika Allah sudah berkehendak. Terus berikhtiar, berdo’a, dan tawakkal, Allah pasti akan selalu menyertaimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar