Antara Aku dan Perjuangan
Oleh: Anita Jogi Nasution, SMAN 9 Ptk #juara3
Ku
tahu, aku bukanlah orang yang tergolong mampu. Ku tahu, Ibuku hanya seorang
tukang cuci dan Ayahku pergi meninggalkan kami entah ke mana. Sementara
kakakku, seorang pengangguran yang sedang mencari kerja dengan berbekal ijazah
SMP. Dan aku? Seorang pelajar di sebuah SMA favorit, yang masih tetap sekolah
karena beasiswa.
“Ke
mana Lan?”, tanyaku.
“Ke
mall. Sama Divan, Ghea, dan Heru”, jawab Lani.
“Maaf Lan, tapi nanti sore aku harus bantu Ibuku”,
jawabku sambil tersenyum.
“Kamu
payah, kalo diajakin suka nggak mau”, jawab Lani cemberut dan pergi
meninggalkanku.
Aku
hanya tersenyum melihatnya pergi. Wajar saja ia cemberut seperti itu, karena
aku punya seribu alasan untuk menolak ajakkannya. Mereka berkali-kali
mengajakku pergi dan berkali-kali pula aku menolaknya. Bukannya aku tidak mau
bergaul dengan mereka atau harus membantu ibuku, bukan. Aku tahu tujuan mereka
hanya bermain-main di sana. Untuk itu semua dibutuhkan uang, dan aku tak punya
untuk melakukan hal semacam itu. Walau ku tahu mereka akan mentraktirku, tetap saja
aku punya perasaan tak enak. Mereka semua sudah terlalu baik padaku.
Mungkin
kehidupan remajaku begitu berat, tidak seperti anak remaja pada umumnya.
Pagi-pagi buta sudah harus bangun, membantu tetangga yang bekerja di pasar
dengan mengangkut barang dagangannya dan mendapat upah yang sungguh sangat
minim. Setelah itu membantu Ibu mencuci pakaian tetangga tentunya dengan
dibayar juga, dan pergi sekolah dengan berjalan kaki yang lumayan jauh jaraknya.
Hanya sepulang sekolah dan menjelang petanglah waktuku untuk belajar, karena
sehabis magrib hingga jam sepuluh malam aku menjadi pelayan di sebuah rumah
makan dekat rumahku. Setelah itu aku pulang dan bangun di pagi buta lagi, begitu
seterusnya. Jika dipikir-pikir, tubuhku yang kecil ini takkan mampu mengerjakan
itu semua. Tapi di sinilah Allah menunjukkan kuasa-Nya. Ia senantiasa memberi
kemudahan bagi siapa saja hamba-Nya yang mau berusaha. Sesungguhnya aku masih
bersyukur dengan keadaanku sekarang ini, walaupun hidup serba pas-pasan dan
terkadang kekurangan, setidaknya keluargaku tak pernah kelaparan dan aku masih
bisa bersekolah dengan bantuan beasiswa. Pasti masih banyak orang di luar sana
yang tidak seberuntung diriku.
“Farah, akhir-akhir ini kamu harus banyak istirahat
ya. Kamu harus fokus karena Olimpiade tinggal sebulan lagi”, kata Bu Laila di
sela-sela latihan buat Olimpiade.
“Iya
Bu, pulang sekolah Farah istirahat kok”, jawabku. Bu Laila mungkin khawatir
padaku karena Bu Laila tahu apa saja aktivitasku di luar sekolah. Bu Laila
hanya takut aku tidak fokus dan gagal dalam merebut medali di Olimpiade nanti.
Hari
ini aku pulang begitu sore karena ada persiapan untuk Olimpiade Kimia, sepulang
latihan, aku menyempatkan diri untuk solat di masjid yang ada di sekolah. Karena
kalau sudah pulang ke rumah takutnya aku langsung tidur hingga tidak solat
ashar. Aku takut sekali, karena hal ini pernah terjadi.
Ku
lihat di sore hari sekolah begitu sepi. Hanya ada beberapa siswa yang tersisa
di ruang OSIS. Mungkin mereka sehabis rapat dan untuk aktivitas ekskul hari ini
tidak ada karena memang tidak ada jadualnya.
“Assalamualaikum
Farah”, kata seseorang di sampingku saat aku memakai sepatu.
“Walaikumsalam”,
jawabku sambil melihat ke arah sumber suara. Ternyata itu Gilang, seorang
anggota OSIS yang beberapa hari lalu “menembakku” tetapi aku tolak. Aku tidak
sempat untuk berpacaran dan kemudian galau berhari-hari seperti teman-temanku
yang berpacaran. Aku harus fokus sekolah dulu. Lagian, pacaran kan haram di
dalam Agama Islam.
“Pulang
bareng yuk”, kata Gilang mengajakku.
“Tapi
rumah kita kan berjauhan, nggak satu arah”, jawabku sambil tersenyum.
“Nggak
papa kok. Aku bawa motor ini. Liat tuh, langit udah mendung, ntar lagi pasti
ujan”, jawabnya sambil menunjuk ke langit.
Betul
juga sih kata Gilang. Langit udah mendung, sementara tubuhku sudah begitu
lelah. Ku putuskan saja menerima ajakkannya. Karena kalau dipikir-pikir juga
aku bakal kehujanan di jalan dan kalau sakit, berabe juga. Kemudian aku pun
menyetujuinya dan pulang dengan dibonceng Gilang.
Sebulan
pun berlalu dengan cepatnya. Besok adalah hari yang mendebarkan bagiku, karena
besok seleksi Olimpiade se Indonesia dan aku ikut yang cabang kimianya. Aku
sudah berusaha maksimal, berdo’a juga udah, sekarang tinggal tawakkal. Aku tahu
Allah pasti memberikan yang terbaik bagiku, apapun itu hasilnya.
“Bu,
doain Farah ya, semoga Farah bisa jawab semua soal-soal dengan benar”, kataku
sambil menyalami Ibu.
“Iya
Farah, Ibu akan slalu berdoa untukmu. Semoga sukses ya Nak, hati-hati di jalan”,
jawab Ibu sambil mencium pipiku. Aku pun membalas mencium pipinya.
“Pergi
dulu ya Bu, Assalamualaikum”, kataku berpamitan.
“Walaikumsalam
sayang”, jawab Ibu tersenyum. Hatiku merasa bahagia, merasa lega, melihat Ibu
tersenyum. Senyum Ibu begitu teduh. Aku suka sekali melihatnya.
Setibanya
aku di tempat perlombaan, aku berkumpul bersama teman-temanku yang juga
mengikuti Olimpiade. Aku sangat berdebar-debar sekali, karena ini kompetisi
tingkat Nasional, yang kebetulan daerahku lah yang sebagai tuan rumahnya. Kami
berdo’a bersama, dibimbing oleh pembimbing kami dari pejabat Diknas Provinsi,
semoga kami semua bisa menjawab soal-soal dengan benar dan mudah.
Tahap
demi tahap ku lalui. Aku optimis akan meraih medali emas, walaupun sempat
merasa ciut melihat sainganku yang lumayan berat dari daerah lain. Dengan
persaingan yang sangat sengit, Alhamdulillah, akhirnya aku berhasil meraih medali
emas di cabang kimia. Begitu juga teman-temanku. Mereka ada yang mendapat
medali emas, perunggu, ada pula yang tidak mendapat medali. Dengan medali yang
kami raih, kami pun berhak mewakili Indonesia untuk Olimpiade di tingkat
Internasional.
“Cieee
yang menang olimpiade, makan-makan yaa..”, goda Ghea padaku saat jam istirahat.
“Iya
nih, makan bakso di kantin juga nggak papa, asal ditraktir aja”, timpal Divan,
sambil tertawa.
“Iya-iya,
yuk kita ke kantin, ajak Lani sama Heru juga. Mereka dimana?”, tanyaku celingak
celinguk. Mereka pun dengan sigap mencarinya.
Setelah
semua berkumpul, kami semua pun ke kantin, dan aku mentraktir mereka. Yaaaa
itung-itung syukuran dan balas budi, karna mereka sering membantuku.
Alhamdulillah, mumpung ada rezeki lebih ini…
“Assalamualaikum,
Farah pulaaaang”, kataku gembira.
“Walaikumsalam.
Seneng banget kayaknya anak Ibu”, jawab Ibu.
“Iya
Bu, dapat bonus nih dari sekolah. Lumayan gede. Alhamdulillah ya Bu”, jawabku
berbinar-binar. Mungkin jika digambarkan di film kartun, sudah banyak bintang-bintang
dan bidadari yang menari di sekelilingku. Hahaha.
Belakangan
ini, aku lebih sibuk dengan persiapan Olimpiade. Terpaksa, bekerja menjadi
pelayan di rumah makan pun aku hentikan, karena aku butuh waktu ekstra untuk
persiapan Olimpiade. Ibu dan kakakku selalu mendukungku. Aku bersyukur sekali
mempunyai keluarga seperti mereka, walaupun Ayah sudah pergi, tak bertanggung
jawab terhadap kami.
“Bu,
Farah pengen banget kuliah. Pengen kuliah di Universitas Cambridge itu lho bu,
biar bisa ketemu sama Skandar Keynes”, kataku sambil tertawa di suatu senja. Ya,
Skandar Keynes adalah aktor favoritku. Aku tahu, itu hanya impianku yang
terlalu tinggi, yang sangat mustahil untuk dicapai. Untuk kuliah di dalam
negeri saja aku belum tentu mampu, apalagi di luar negeri yang membutuhkan
biaya mahal. Kalau ngejar beasiswa lagi, sedikit sekali harapan untuk
mendapatkannya.
“Maafkan
Ibu, Farah, Ibu nggak punya uang kalo kuliah di sana. Kalo kamu kuliah di sini,
mungkin Ibu masih bisa mengusahakannya. Makanya kamu belajar yang rajin, biar
dapat beasiswa lagi. Kamu tau kan kondisi kita bagaimana”, kata Ibu sambil
mengelus-elus kepalaku dengan penuh ketulusan.
“Iya
Bu, Farah ngerti. Farah pengen banget Bu, Farah pengen mencapai cita-cita
Farah, ngebahagiain Ibu sama Kak Lia. Semoga kesampaian ya Bu”, kataku penuh
harap.
“Amin
Nak, selama ini kamu udah buat Ibu bahagia kok”, kata Ibu tersenyum. Akupun
ikut tersenyum.
“Oh
iya Bu, bonus buat peraih medali Olimpiade di Prancis nanti gede lho Bu,
katanya sih kuliahnya dibiayain sampe selese. Tapi nggak tau juga kuliah di Universitas
mana”, kataku.
“Beruntung
sekali ya bagi yang mendapatkannya. Semoga kamu orang yang beruntung itu Nak”,
kata Ibu berdoa penuh harap. Kami pun mengaminkannya bersama-sama.
Persiapan
buat Olimpiade sudah cukup matang, dibimbing oleh guru dari pusat. Terkadang
aku merinding sendiri, dan tidak menyangka dengan apa yang dapat aku lakukan. Hehehe.
Itu semua pastinya tak terlepas dari bantuan Allah dan support dari Ibu, Kak
Lia, dan juga orang-orang di sekelilingku.
“Farah…”,
sapa seseorang disampingku. Aku hapal betul itu pasti suara Gilang, yang tiap
istirahat mampir ke kelasku, XI IPA 2.
“Iya
Gilang”, jawabku tersenyum.
“Semoga
sukses ya buat Olimpiadenya nanti. Kamu hebat banget lho bisa mewakili
Indonesia di Prancis nanti. Bangga deh punya temen kayak kamu”, kata Gilang
memuji.
“Biasa
aja kok Gilang, ini semua karna Allah dan dukungan kalian juga”, jawabku tersenyum.
“Hehehe,
walopun begitu jangan sombong ya Farah, tetep inget sama kita-kita, terutama
sama aku”, kata Gilang sambil memainkan jambulnya.
“Iya
Lang, Insha Allah, aku inget kalian, tapi kalo sama kamu nggak”, kataku sambil
menjulurkan lidah.
“Huhuhu
gitu ya, males deh temenan sama kamu”, kata Gilang pura-purah marah.
“Hehehe
siapa juga yang pengen temenan sama kamu?”, tanyaku sok sinis.
“Kalo
nggak temenan, maunya apa dong? A couple? One day ya..”, kata Gilang sambil
tertawa. Aku hanya tersenyum, salah tingkah melihatnya. Ada-ada saja Gilang
ini.
“Hehehe,
kapan kamu pergi ke Prancis?”, tanya Gilang kemudian.
“Insha
Allah minggu depan, tapi besok aku udah ke Jakarta, karena ngumpul dulu bareng
anak-anak yang lain. Latihan sebentar, trus dikasih pengarahan dan bimbingan
dulu di sana”, jawabku.
“Oh
iya, bagus deh Fa. Hati-hati ya, jangan lupa solat, semoga selamat sampe
tujuan. Semoga menang. Bangga deh sama kamu. Nih ada sesuatu dari aku”, kata
Gilang sambil menyerahkan bungkusan.
“Iya
Lang, makasih banget ya. Tapi ini apa?”, tanyaku heran.
“Buka
aja di rumah. Semoga kamu suka ya”, kata Gilang, bergegas pergi.
“Iya,
makasih banyak ya Lang”, kataku setengah berteriak, karna ia sudah berada di
depan pintu kelas.
“Iya
sama-sama Fa. Aku masih nunggu kamu”, jawab Gilang setengah berteriak juga.
Aku
tertegun. Sementara teman-temanku yang lain menyoraki dengan hebohnya. Aku
hanya tertawa menanggapi teman-temanku yang memang terkadang norak. Hahaha.
Segala
persiapan telah selesai. Tak lelah aku berdo’a, memohon kepada Allah agar
semuanya dimudahkan. Aku senang sekaligus khawatir karena ini perjalanan pertamaku
ke luar negeri, tapi singgah dulu di Jakarta sih. Hehehe.
“Ibu,
do’ain Farah ya Bu. Semoga Farah bisa menang. Farah pengen buat Ibu bangga sama
Farah. Farah pengen ngebahagiain Ibu. Maafin Farah bu udah banyak salah sama
Ibu. Sering nyusahin Ibu, sering buat Ibu kesel. Makasih juga Bu udah sayang sama
Farah, udah ngerawat Farah hingga Farah besar kayak gini. Walopun Farah nggak
mungkin bisa membalas jasa Ibu, setidaknya Ibu bahagia punya anak kayak Farah”,
kataku berkaca-kaca.
“Iya
Nak, Ibu slalu berdoa untukmu tanpa kamu minta sekalipun. Ibu udah bangga kok,
udah bahagia punya anak kaya Farah dan Kak Lia, Farah dan Kak Lia adalah
anugerah terindah yang Allah berikan buat Ibu. Semoga kamu sukses nak, semoga
kamu bisa menjadi apa yang kamu cita-citakan. Justru Ibu yang minta maaf karena
nggak pernah memenuhi apa yang kamu butuhkan, membuat kamu harus bekerja di
usia sekolah saat ini. Percayalah Nak, kemanapun kamu pergi, do’a Ibu selalu
menyertaimu”, kata Ibu memelukku dengan hangat. Tenang sekali aku berada di
dalam dekapan Ibu. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Makasih
juga Kak Lia, karena slalu ada buat Farah. Yang slalu membantu Farah kalo ada
kesulitan, maaf juga udah nyusahin kakak. Do’ain Farah ya kak, semoga Farah
bisa jadi yang terbaik di sana”, kataku lalu memeluk Kak Lia.
“Iya
Fa. Maafin kakak juga, kakak nggak bisa jadi kakak yang baik buat kamu. Pasti
kakak do’ain kamu supaya jadi yang terbaik. Kakak sayang kamu Farah”, ucap Kak
Lia, memelukku erat sekali. Kemudian aku, Ibu, dan Kak Lia pun berpelukan
bersama-sama.
Aku
pun pergi melangkah. Ibu, Kak Lia, dan keempat sahabatku, mengantarku hingga
bandara. Sebelum pesawat take off, kupeluk lagi Kak Lia dan juga Ibu. Rasanya
tak ingin aku melepaskan pelukan Ibu. Pelukan hangatnya yang menenangkanku.
Senyuman teduhnya yang meluluhkan perasaanku, dan kasih sayang serta ketulusan
cintanya tak pernah aku ragukan. Tapi bagaimanapun juga, aku harus tetap pergi,
membawa nama Indonesia, semoga aku bisa sukses di ajang Internasional ini.
Setelah
aku sampai di Jakarta, aku dan teman-teman seperjuangan diberi pengarahan,
bimbingan, dan kami berdo’a bersama. Setelah kurang lebih seminggu menginap di
Jakarta, kami pergi menuju Prancis, tempat ajang Internasional itu diadakan.
Sesampainya
di sana, aku senang sekali, menara Eifell yang biasa ku lihat di tivi, kini aku
melihatnya secara langsung. Tak lupa aku mengabadikan momen indah ini. Kesempatan
yang sangat luar biasa bagiku, anak seorang tukang cuci pakaian.
Di
Prancis, tepatnya di kota Paris, tempat ajang berlangsung selama beberapa hari.
Sama seperti Olimpiade di Indonesia, semua ada tahapannya. Tes tertulis,
eksperimen, babak tanya jawab, dan rebutan. Aku berdebar sekali. Sangat gugup.
Perasaanku campur aduk saat ini. Jika aku mendapat medali di Olimpiade ini,
akan ku persembahkan buat Ibu. Tunggu Farah ya Bu, jika pulang nanti, Insha
Allah akan membawa medali emas buat Ibu. Tetap do’akan Farah ya Bu….
Lima hari berlalu, Alhamdulillah,
aku telah sampai di babak rebutan. Di sini adalah babak yang paling mendebarkan.
Karena, mesti cepat tanggap terhadap soal yang diberikan. Apalagi memakai
Bahasa Inggris, mesti pasang telinga dengan teliti nih hehehe. Rasanya sulit
dipercaya ya, aku bisa berkumpul di sini, bersama orang-orang hebat dari
berbagai Negara. Terima kasih Ya Allah, ini semua pasti karena kuasa-Mu.
Persaingan nilai sangat ketat, semua
ingin menjadi yang terbaik. Sementara ini, Belanda unggul dengan poin
tertinggi. Disusul oleh tuan rumah, Prancis. Rasanya aku hampir putus asa, tapi
aku akan tetap berusaha mengejar ketertinggalan. Dan akhirnya, ya! Aku mengejar
nilai yang diperoleh Belanda dan Prancis, hingga melebihinya dan akhirnya aku,
Farah Shillafanissa, wakil dari Indonesia meraih poin tertinggi hingga akhir
pertandingan, berhak atas medali emas dan biaya kuliah gratis di sebuah Universitas,
yang ternyata Universitas impianku, yaitu Cambridge! Aku spontan sujud syukur,
tak hentinya bersyukur pada Allah, aku menangis haru. Ibu, medali emas ini
kupersembahkan untukmu Ibu! Tak sabar aku ingin tunjukkan pada Ibu! Aku tak
sabar ingin cepat-cepat pulang ke Indonesia, bertemu Ibu dan Kak Lia! Tunggu
Farah ya Bu….
Hari yang kutunggu pun tiba. Kami
rombongan Merah Putih akan pulang ke Tanah Air. Rombongan Indonesia ternyata
banyak sekali memborong medali. Pengalaman yang luar biasa. Kudapatkan teman
dari berbagai belahan dunia, yang berbeda bahasa dan budaya. Pengalaman yang
sangat berharga, tak sabar ingin kuceritakan kepada Ibu dan Kak Lia jika sudah
sampai di rumah.
Setelah beberapa jam berada di atas
udara, akhirnya sampai juga di Indonesia dengan selamat. Menginap dulu di
Jakarta selama sehari, dan esok harinya aku pulang bersama pembimbing juga
teman-teman yang ikut Olimpiade dari provinsiku.
Aku diantar pulang ke rumah memakai
mobil oleh petugas dari provinsi, karena Kak Lia bilang, Kak Lia dan Ibu tidak
sempat menjemputku di bandara. Aku senang, aku merasa diistimewakan sekali.
Dari kejauhan kulihat orang-orang ramai berkerumun. Aku tahu, mereka pasti
menyambut kedatanganku. Sesampai aku di depan rumah, aku sujud syukur. Ternyata
ada pengajian untuk menyambut kedatanganku. Wah, Ibu, sampai bawa rombongan
pengajian segala. Ku lihat Kak Lia, dan ternyata ada juga Om Yudi sama Tante
Fira, menyambutku sambil menangis, dan memelukku dengan erat. Aku juga
menangis, aku terharu.
“Ibu
mana Kak?”, tanyaku sambil menggenggam medali emas yang kuraih. Tak sabar ingin
kupamerkan pada Ibu. Kak Lia hanya menangis. Om Yudi dan Tante Fira juga
menangis. Ku lihat semua orang yang berada di rumah juga menangis. Ada apa ini?
“Ibu
mana Kak?”, tanyaku sekali lagi sambil mengguncangkan tubuhnya. Sepertinya ada
sesuatu yang tidak beres.
“Ibu…
Ibu udah nggak ada Fa… Ibu udah pergi sejak 3 hari yang lalu, ditabrak minibus
pas mau nyeberang”, jawab Kak Lia terbata-bata.
“Nggak
mungkin Kak. Ibu pasti ngumpet. Ibu di mana sih Kak?”, tanyaku sekali lagi
sambil berusaha tertawa tapi mata sudah berkaca-kaca. Berharap semua ini hanya
lelucon.
“Kamu
harus ikhlas, Farah. Ibu udah pergi”, kata Tante Fira sambil memelukku.
“Ibu
nggak mungkin pergi kan?! Liat Bu, Farah bawa apa? Medali emas nih Bu, ini buat
Ibu!”, kataku sambil mengangkat medali yang kupegang.
“Farah,
Ibu udah pergi. Ikhlaskan lah Nak”, kata Om Yudi.
Aku
menangis sejadi-jadinya. Air mata kebahagiaan berubah menjadi air mata
kesedihan. Aku terpukul sekali atas musibah ini. Aku meronta sekuat-kuatnya
hingga semua terasa gelap.
Juli,
2012.
“Ibu,
Farah pergi dulu ya Bu. Farah ingin menjadi apa yang Farah cita-citakan. Farah
dapet beasiswa kuliah di Cambridge lho Bu, Universitas impian Farah, yang waktu
itu Farah certain ke Ibu. Ibu ingat kan? Makasih buat semuanya Bu. Ya Allah,
tolong jaga Ibu ya, tempatkan Ibu di tempat yang paling indah, yang paling
nyaman. Jauhkan Ibu dari siksa api neraka Ya Allah. Amin…”, do’aku di pusara
Ibu, sekalian pamitan.
Sekarang aku sudah lulus SMA, aku
akan melanjutkan kuliah di Cambridge, dengan bantuan beasiswa. Andai Ibu masih
ada, Ibu pasti kuajak tinggal di sana. Selamat tinggal Ibu, selamat tinggal Kak
Lia, yang tak mungkin ku ajak serta karena sudah harus mengurus keluarga baru
Kakak, selamat tinggal teman-teman, selamat tinggal Indonesia, aku ke Inggris
dulu ya, untuk melanjutkan pendidikanku. Aku akan kembali setelah aku lulus
kuliah nanti.
Setelah beberapa tahun kuliah, aku
akhirnya lulus dengan predikat pujian. Iri juga ya melihat teman-temanku yang
sehabis wisuda sudah memesan studio foto untuk foto bersama keluarga mereka,
sedangkan aku harus pulang ke apartemen sendirian dan mempersiapkan
kepulanganku ke Indonesia. Tapi aku tetap senang kok, walaupun tiada yang
datang diwisudaku, Kak Lia, dan keluargaku yang lain, juga sahabatku di SMA,
Lani, Ghea, Heru, dan Divan, menelponku dan memberiku ucapan selamat. Katanya
mereka akan menjemputku di bandara nanti. Excited banget!
Setelah beberapa jam di atas burung
besi ini, akhirnya aku sampai juga di Jakarta dan akan melanjutkan penerbangan
ke Surabaya. Setelah mengambil bagasi, aku pun keluar disambut Kak Lia, keluargaku,
juga sahabat SMA ku. Aku kangen sekali dengan mereka. Aku menangis haru.
“Farah,
ada kejutan nih!”, kata Heru tiba-tiba, diikuti dengan suit-suitan genit dari
teman-temanku.
“Apa?”,
tanyaku sambil tertawa.
Tiba-tiba
sesosok makhluk tampan muncul dihadapanku. Aku terkejut sekali, ternyata itu
Gilang! Speechless…
“Assalamualaikum
Farah. Selamat ya Farah atas kesuksesan kamu. Aku masih nunggu kamu lho sampe
sekarang”, ucap Gilang, yang ternyata sekarang telah menjadi seorang dokter.
Aku terdiam. Begitu gigihnya ia menungguku hingga sekarang. Ia ingat
kata-kataku saat aku menolaknya, karena aku ingin mendapat sarjana dulu baru
mulai mencari pasangan. Sebagai wanita aku merasa takjub. Ucapan Gilang
mendapat respon sorak sorai genit dari keluarga dan teman-temanku , persis seperti
di kelas saat istirahat di SMA dulu.
Aku
merasa bahagia sekali, lulus dari Universitas yang aku dambakan, kepulanganku
disambut Kak Lia, keluarga dan teman-teman, orang-orang yang aku sayangi, dan
Gilang, yang masih setia menungguku hingga sekarang. Aku seperti wanita paling
beruntung di dunia. Lengkap sudah kebahagiaanku. Andai ada Ibu dan juga Ayah di
sini, kebahagiaanku pasti lebih lengkap lagi.
Tapi
aku bersyukur Ya Allah, atas nikmat-Mu yang tak terhingga ini. Buat semuanya,
jangan takut bermimpi, terus berusaha untuk semua mimpi yang ingin kamu capai, walaupun
terlihat mustahil, ingatlah, tiada yang mustahil jika Allah sudah berkehendak.
Terus berikhtiar, berdo’a, dan tawakkal, Allah pasti akan selalu menyertaimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar