Sebelum Tiba Usia Senja
Oleh
Febthia Rika Ramadhaniah
Sore
yang cantik di Potsdam, Berlin Jerman. Seakan tak ada lagi yang lebih baik
dibanding dengan menikmati dari jauh pemandangan Istana Sanssouci. Berdiri megah mengintimidasi bangunan disekitarnya. Kota
ini begitu indah, pikirku. Allah memang Pencipta Maha Kuasa yang tiada
tandingan-Nya.
Kuarasakan semilir angin menyapu
lembut jilbab motif bunga-bunga yang berhasil membuat
teman-teman satu kampus
terkagum-kagum. Mereka bilang aku punya selera berpakaian yang manis. Maklum,
pengguna jilbab di Potsdam benar-benar masih sedikit. Menjadi hal yang luar
biasa ketika mnyadari bahwa di Universitas cuma ada dua orang yang mengenakan
jilbab. Aku... dan Mrs. Aryanti. Wanita asal Indonesia yang menjadi koki di cafe tak jauh dari kampus. Sesekali,
saat aku rindu berbicara dengan bahasa indonesia aku akan menemuinya di situ.
Biasanya beliau akan sangat senang.
Kata Mrs. Aryani, ia menganggapku sudah seperti anaknya. Wajar saja kalau
orang-orang Jerman bisa dengan cepat menerima posisinya. Oh ya, aku juga
memiliki teman dekat di kampus, namanya Ella. Kami berdua berbeda keyakinan.
Tetapi meskipun begitu.., kami tetap kompak dan akrab. Asalkan bisa membawa diri dan saling menghargai,
manusia manapun akan mudah menerima kita.
Garis-garis kemerahan yang
membentang dilangit membuatku tak tahan harus berdiam diri saja. Aku ingin melihat
suasana menakjubkan seperti ini lebih dekat lagi. Dengan langkah ringan dan santai
aku menyusuri Berlin. Memakan jalanan setelah berpamitan dengan orang tua
angkatku. Alhamdulillah, aku
mendapatkan orang tua angkat yang beragama sama sepertiku; Islam. Hingga segalanya
menjadi lebih mudah.
Kedamaian hati seketika meluputi
jiwaku. Menyusup dari mata hingga ujung kaki. Tiba tiba pandanganku tertuju
pada seorang laki laki paruh baya yang sedang duduk tenang di taman. Memakai
kopiah putih bersih yang memberi efek sendu pada wajahnya. Jleb. Hatiku mendesir hebat. Teringat akan almarhum kakekku yang
punya tatapan hangat sama seperti pria itu.
Ah, barangkali akau bisa mengajaknya
berbicara sebentar agar lebih mengenal lagi bagaimana pemikiran orang-orang
lanjut usia di Jerman. Kebetulan aku memang orang yang selalu ingin tahu dan
suka berinteraksi.
“Assalamualaikum. Excuse me, Sir...,”sapaku agak ragu.
Detik berikutnya kugantung senyuman di
wajah. Syukurlah, pria paruh baya ini memberi refleks baik dengan membalas
senyumku.
Ia terdiam untuk sejenak,
memperhatikanku dengan seksama. Mungkin beliau heran dengan penampilanku yang
berbeda jauh dengan gadis-gadis sebaya di sini.
Ia mulai membuka mulutnya,”waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh. Kau
orang Indonesia kah?’katanya lancar. Subhanallah..., ternyata beliau mengerti
Bahasa Indonesia.
“I...iya,
benar, kek. Saya orang Indonesia, kakek bisa paham bahasaku?” tanyaku masih
dengan raut wajah kaget.
“Bisa. Lima-belas tahun di Berlin takkan
membuatku lupa akan Indonesia, kampung halamanku...,”ujarnya seraya menerawang
jauh ke langit. “hmm..., ada apa kau jauh-jauh kemari?”
“Saya mendapat beasiswa untuk kuliah
di sini. Kakek sendiri, apa kakek bekerja di Potsdam?”
“Bukan..., saat di Indonesia saya
sudah pensiun, saya tinggal di sini bersama anak saya yang bekerja di kantor
tak jauh dari sini. Tinggal bersama istri dan kedua cucu saya,”jelasnya. Ntah
mengapa dari wajahnya aku melihat kalau lelaki ini cerdas dan religius.
“Oh..., senang bisa mengenal anda.
Rasanya, tinggal di sini itu seperti mimpi,”aku tersenyum sambil merentangkan
kedua tanganku. Benar-benar senja yang nikmat.
Kakek itu tersenyum lagi, “tentu...,
oh ya, bagaimana kabar pemuda-pemuda di Indonesia? Apa mayoritas dari
mereka masih suka bermalas-malasan dan manja?”tanyanya.
Ada penekanan pada bagian ‘bermalas-malasan’. Aku tersentak kaget. Tak tahu
harus menjawab apa.
“Saya... saya belum pernah meneliti
tentang itu, kek,”aku tersenyum tipis,”tapi... mahasiswa di Indonesia sekarang
sepertinya lebih kritis dan agresif.”
“Kritis?
Agresif?”ia tampak berpikir sejenak, “oh..., iya ya..., apa ini ada
sangkut-pautnya dengan demo-demo mahasiswa itu?’ Saya pernah melihat aksi
mereka lewat internet....”
“Demo?
Oh, itu....”
Si kakek terkekeh, “pemuda, kritis
dan agresif yang seperti itu rasanya bertindak bukan berasal dari nilai
pancasila kita! Menghancurkan fasilitas umum dengan beringas dan tak peduli
resikonya. Saya yakin mereka tak mengerti kalau ideologi kita berperan dalam
cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia. Mereka berdemo untuk kepentingan rakyat
atau... pelampiasan nafsu belaka?! Pelampiasan dari rasa bosan akan
hidupnya....”
Shoot!
aku merasa tertembak. Kakek berbicara dengan nada berapi-api. Lantang juga
tajam. Membuatku merasa malu dan bingung.
“Kakek...
benar,”desisku lirih,”tetapi prestasi yang pemuda Indonesia ukir cukup banyak
dan menakjubkan, kok.”
Kakek
tersenyum sambil mengangguk, “oh ya? Baguslah, karena memang begitu seharusnya.
Kau tentu tahu, Indonesia adalah negara beragama. Mungkin harus ada gebrakan
terbaru untuk menyadarkan rakyat Indonesia. Gebrakan yang revolusioner dan berdampak efisien. Kenapa kita tidak sama-sama
meneladani nabi kita? Nabi Muhammad SAW. Semasa muda beliau tak pernah membuang
waktu dengan sia-sia. Semangat belajar dan berjuangnya selalu terbakar
sempurna. Memiliki cita-cita tinggi selangit dan karya-karya yang membumi.
Menjadi motivator hebat dan memiliki prestasi-prestasi yang menjadi sejarah.
Bahkan hingga sekarang, di saat beliau telah menikmati manisnya surga...”
“Ya...,
ya. Kakek benar. Nabi Muhammad sholallahu’alai
wassalam memang luar biasa. Dapat dijadikan tauladan dan acuan kita,”kataku
menambahkan.
Kakek
mengangguk, “rasanya saya ingin kembali ke Indonesia. Saya rindu suasana di
kampung. Sayangnya... saya sudah tua. Kembali ke sanapun tak akan membawa
dampak apa-apa. Saya sudah tak mampu lagi memberikan prestasi dan menyumbang
piala,”kakek itu tertawa lagi. Memperlihatkan susunan giginya yang masih rapih. Sedang aku hanya tertegun. Pria paruh baya yang tinggal di negeri orang
saja masih punya semangat untuk berprestasi?
“Kakek....
dulu seorang tentara kah?”tanyaku
hati-hati.
“Benar!
Bagaimana kau bisa tahu?”
Aku
tersenyum lalu membebaskan napas pelan, “itu terlihat dari ekspresi dan
semangat kakek!”seruku riang. Beliau tertawa kecil.
“Waktu
kecil saya sangat ingin menjadi Presiden...,”kakek mulai membuka cerita, “gara-gara
saat itu saya terkagum-kagum melihat gaya dan cara berbicara Presiden Republik
Indonesia yang pertama, Bung Karno. Dari yang saya lihat ia sosok pemimpin yang
pantas diacungi jempol. Tangguh dan rela berkorban. Dengan umur yang masih muda
saja ia sudah mampu menjadi pahlawan bangsa.”
“Iya,
kek..., Indonesia juga sedang merindukan para pemimpin yang betanggung jawab
seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau adalah seorang pemimpin yang
jujur, adil dan bijaksana. Kekuasaan ditangannya berarti kemakmuran untuk
rakyat. Bukan untuk dirinya atau keluarganya. Ia sangat hati-hati menggunakan
uang negara, agar tak bocor serta
jatuh ketangan yang bukan haknya. Beliau juga menunjukkan banyak prestasi.
Rakyat Khalifah Umar bin Abdul Aziz hidup dalam kerukunan dan kedamaian. Hal
yang orang Indonesia idam-idamkan,”jelasku
panjang lebar.
Kakek
mengangkat jempolnya,”kau memang gadis cerdas!”tuturnya bangga, “anak muda,
jika nanti kau kembali ke Indonesia, jadilah seorang pemuda yang bersemangat dalam memajukan Indonesia.
Mulailah dari dirimu sendiri. Buatlah bangga kami. Para tua renta yang habis
masa jabatannya. Masa jabatan dalam membina kemajuan bangsa. Jadilah yang lebih
baik! Bagaimana?!”
“Insya Allah, kek... saya akan berusaha,”tiba-tiba
rasa haru menyelimuti palung hatiku.
“Sebentar
lagi maghrib. Apa kau mau ikut
denganku sholat di masjid tak jauh dari sini? Masjid sederhana seperti surau namun nyaman,”tawar kakek. Aku
mengangguk semangat. Berjalan di belakang kakek yang kenyataannya masih berdiri
dengan tegap dan kokoh. Ah... hari yang
luar biasa!
***
Malam
kian larut. Sinar rembulan berdifraksi masuk melalui celah-celah kecil jendela
kamarku. Wah, aku jadi ingat dengan kakek yang berbincang-bincang denganku sore
tadi di taman. Karenanya, aku merasa lebih termotivasi. Aku berjanji akan kembali
ke Indonesia dengan membawa tumpukan
prestasi. Menunjukkan pada orang-orang berusia senja di Indonesia kalau mereka
sudah boleh percaya pada kami, bahwa kami, pemuda, akan merawat baik-baik
negeri Indonesia. Negeri beragama dan berpancasila. Meyakinkan mereka kalau
pemuda sanggup mengemban amanah leluhur. Memajukan... dan menyejahterakan
rakyat!
Senyuman
bangga. Hari ini Yang Maha Baik kembali menunjukkan kuasa-Nya. Memberi anugerah
semangat yang membumbung seketika. Sebelum tiba usia lanjutku, aku akan
menggunakan baik-baik dan menjaga semangat ini. Membanggakan orang tua, juga
seluruh dunia. Menggantung cita-cita lebih tinggi dari bintang-bintang di
langit. Menggapai imajinasi nirbatas
yang mampu menghentak dunia!
Aku
menutup mulutku yang menguap. Memanjatkan
do’a sebelum tidur kepada-Nya. Hmm... semoga aku masih bisa menikmati aroma
mentari terbit esok. Mulai berkarya dan berkarya. Karena inilah saatnya...
kita, yang muda yang berprestasi!!!
Terimakasih, kek.
Febthia Rika Ramadhaniah
SMA Negeri 7 Pontianak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar