Rabu, 03 April 2013

Sebelum Tiba Usia Senja


Sebelum Tiba Usia Senja
Oleh Febthia Rika Ramadhaniah

Sore yang cantik di Potsdam, Berlin Jerman. Seakan tak ada lagi yang lebih baik dibanding dengan menikmati dari jauh pemandangan Istana Sanssouci. Berdiri megah mengintimidasi bangunan disekitarnya. Kota ini begitu indah, pikirku. Allah memang Pencipta Maha Kuasa yang tiada tandingan-Nya.
            Kuarasakan semilir angin menyapu lembut jilbab motif bunga-bunga yang berhasil membuat
teman-teman satu kampus terkagum-kagum. Mereka bilang aku punya selera berpakaian yang manis. Maklum, pengguna jilbab di Potsdam benar-benar masih sedikit. Menjadi hal yang luar biasa ketika mnyadari bahwa di Universitas cuma ada dua orang yang mengenakan jilbab. Aku... dan Mrs. Aryanti. Wanita asal Indonesia yang menjadi koki di cafe tak jauh dari kampus. Sesekali, saat aku rindu berbicara dengan bahasa indonesia aku akan menemuinya di situ.
            Biasanya beliau akan sangat senang. Kata Mrs. Aryani, ia menganggapku sudah seperti anaknya. Wajar saja kalau orang-orang Jerman bisa dengan cepat menerima posisinya. Oh ya, aku juga memiliki teman dekat di kampus, namanya Ella. Kami berdua berbeda keyakinan. Tetapi meskipun begitu.., kami tetap kompak dan akrab. Asalkan bisa membawa diri dan saling menghargai, manusia manapun akan mudah menerima kita.
            Garis-garis kemerahan yang membentang dilangit membuatku tak tahan harus berdiam diri saja. Aku ingin melihat suasana menakjubkan seperti ini lebih dekat lagi. Dengan langkah ringan dan santai aku menyusuri Berlin. Memakan jalanan setelah berpamitan dengan orang tua angkatku. Alhamdulillah, aku mendapatkan orang tua angkat yang beragama sama sepertiku; Islam. Hingga segalanya menjadi lebih mudah.
            Kedamaian hati seketika meluputi jiwaku. Menyusup dari mata hingga ujung kaki. Tiba tiba pandanganku tertuju pada seorang laki laki paruh baya yang sedang duduk tenang di taman. Memakai kopiah putih bersih yang memberi efek sendu pada wajahnya. Jleb. Hatiku mendesir hebat. Teringat akan almarhum kakekku yang punya tatapan hangat sama seperti pria itu.
            Ah, barangkali akau bisa mengajaknya berbicara sebentar agar lebih mengenal lagi bagaimana pemikiran orang-orang lanjut usia di Jerman. Kebetulan aku memang orang yang selalu ingin tahu dan suka berinteraksi.
            “Assalamualaikum. Excuse me, Sir...,”sapaku agak ragu. Detik berikutnya  kugantung senyuman di wajah. Syukurlah, pria paruh baya ini memberi refleks baik dengan membalas senyumku.
            Ia terdiam untuk sejenak, memperhatikanku dengan seksama. Mungkin beliau heran dengan penampilanku yang berbeda jauh dengan gadis-gadis sebaya di sini.
            Ia mulai membuka mulutnya,”waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh. Kau orang Indonesia kah?’katanya lancar. Subhanallah..., ternyata beliau mengerti Bahasa Indonesia.
            “I...iya, benar, kek. Saya orang Indonesia, kakek bisa paham bahasaku?” tanyaku masih dengan raut wajah kaget.
            “Bisa. Lima-belas tahun di Berlin takkan membuatku lupa akan Indonesia, kampung halamanku...,”ujarnya seraya menerawang jauh ke langit. “hmm..., ada apa kau jauh-jauh kemari?”
            “Saya mendapat beasiswa untuk kuliah di sini. Kakek sendiri, apa kakek bekerja di Potsdam?”
            “Bukan..., saat di Indonesia saya sudah pensiun, saya tinggal di sini bersama anak saya yang bekerja di kantor tak jauh dari sini. Tinggal bersama istri dan kedua cucu saya,”jelasnya. Ntah mengapa dari wajahnya aku melihat kalau lelaki ini cerdas dan religius.
            “Oh..., senang bisa mengenal anda. Rasanya, tinggal di sini itu seperti mimpi,”aku tersenyum sambil merentangkan kedua tanganku. Benar-benar senja yang nikmat.
            Kakek itu tersenyum lagi, “tentu..., oh ya, bagaimana kabar pemuda-pemuda di Indonesia? Apa mayoritas dari mereka  masih suka bermalas-malasan dan manja?”tanyanya. Ada penekanan pada bagian ‘bermalas-malasan’. Aku tersentak kaget. Tak tahu harus menjawab apa.
            “Saya... saya belum pernah meneliti tentang itu, kek,”aku tersenyum tipis,”tapi... mahasiswa di Indonesia sekarang sepertinya lebih kritis dan agresif.”
            Kritis? Agresif?”ia tampak berpikir sejenak, “oh..., iya ya..., apa ini ada sangkut-pautnya dengan demo-demo mahasiswa itu?’ Saya pernah melihat aksi mereka lewat internet....”
            Demo? Oh, itu....”
            Si kakek terkekeh, “pemuda, kritis dan agresif yang seperti itu rasanya bertindak bukan berasal dari nilai pancasila kita! Menghancurkan fasilitas umum dengan beringas dan tak peduli resikonya. Saya yakin mereka tak mengerti kalau ideologi kita berperan dalam cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia. Mereka berdemo untuk kepentingan rakyat atau... pelampiasan nafsu belaka?! Pelampiasan dari rasa bosan akan hidupnya....”
Shoot! aku merasa tertembak. Kakek berbicara dengan nada berapi-api. Lantang juga tajam. Membuatku merasa malu dan bingung.
“Kakek... benar,”desisku lirih,”tetapi prestasi yang pemuda Indonesia ukir cukup banyak dan menakjubkan, kok.”
Kakek tersenyum sambil mengangguk, “oh ya? Baguslah, karena memang begitu seharusnya. Kau tentu tahu, Indonesia adalah negara beragama. Mungkin harus ada gebrakan terbaru untuk menyadarkan rakyat Indonesia. Gebrakan yang revolusioner dan berdampak efisien. Kenapa kita tidak sama-sama meneladani nabi kita? Nabi Muhammad SAW. Semasa muda beliau tak pernah membuang waktu dengan sia-sia. Semangat belajar dan berjuangnya selalu terbakar sempurna. Memiliki cita-cita tinggi selangit dan karya-karya yang membumi. Menjadi motivator hebat dan memiliki prestasi-prestasi yang menjadi sejarah. Bahkan hingga sekarang, di saat beliau telah menikmati manisnya surga...”
“Ya..., ya. Kakek benar. Nabi Muhammad sholallahu’alai wassalam memang luar biasa. Dapat dijadikan tauladan dan acuan kita,”kataku menambahkan.
Kakek mengangguk, “rasanya saya ingin kembali ke Indonesia. Saya rindu suasana di kampung. Sayangnya... saya sudah tua. Kembali ke sanapun tak akan membawa dampak apa-apa. Saya sudah tak mampu lagi memberikan prestasi dan menyumbang piala,”kakek itu tertawa lagi. Memperlihatkan susunan giginya yang masih rapih. Sedang aku hanya tertegun. Pria paruh baya yang tinggal di negeri orang saja masih punya semangat untuk berprestasi?
“Kakek.... dulu seorang tentara kah?”tanyaku hati-hati.
“Benar! Bagaimana kau bisa tahu?”
Aku tersenyum lalu membebaskan napas pelan, “itu terlihat dari ekspresi dan semangat kakek!”seruku riang. Beliau tertawa kecil.
“Waktu kecil saya sangat ingin menjadi Presiden...,”kakek mulai membuka cerita, “gara-gara saat itu saya terkagum-kagum melihat gaya dan cara berbicara Presiden Republik Indonesia yang pertama, Bung Karno. Dari yang saya lihat ia sosok pemimpin yang pantas diacungi jempol. Tangguh dan rela berkorban. Dengan umur yang masih muda saja ia sudah mampu menjadi pahlawan bangsa.”
“Iya, kek..., Indonesia juga sedang merindukan para pemimpin yang betanggung jawab seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau adalah seorang pemimpin yang jujur, adil dan bijaksana. Kekuasaan ditangannya berarti kemakmuran untuk rakyat. Bukan untuk dirinya atau keluarganya. Ia sangat hati-hati menggunakan uang negara, agar tak bocor serta jatuh ketangan yang bukan haknya. Beliau juga menunjukkan banyak prestasi. Rakyat Khalifah Umar bin Abdul Aziz hidup dalam kerukunan dan kedamaian. Hal yang orang Indonesia idam-idamkan,”jelasku panjang lebar.
Kakek mengangkat jempolnya,”kau memang gadis cerdas!”tuturnya bangga, “anak muda, jika nanti kau kembali ke Indonesia, jadilah seorang pemuda yang  bersemangat dalam memajukan Indonesia. Mulailah dari dirimu sendiri. Buatlah bangga kami. Para tua renta yang habis masa jabatannya. Masa jabatan dalam membina kemajuan bangsa. Jadilah yang lebih baik! Bagaimana?!”
Insya Allah, kek... saya akan berusaha,”tiba-tiba rasa haru menyelimuti palung hatiku.
“Sebentar lagi maghrib. Apa kau mau ikut denganku sholat di masjid tak jauh dari sini? Masjid sederhana seperti surau namun nyaman,”tawar kakek. Aku mengangguk semangat. Berjalan di belakang kakek yang kenyataannya masih berdiri dengan tegap dan kokoh. Ah... hari yang luar biasa!
***
Malam kian larut. Sinar rembulan berdifraksi masuk melalui celah-celah kecil jendela kamarku. Wah, aku jadi ingat dengan kakek yang berbincang-bincang denganku sore tadi di taman. Karenanya, aku merasa lebih termotivasi. Aku berjanji akan kembali ke Indonesia dengan  membawa tumpukan prestasi. Menunjukkan pada orang-orang berusia senja di Indonesia kalau mereka sudah boleh percaya pada kami, bahwa kami, pemuda, akan merawat baik-baik negeri Indonesia. Negeri beragama dan berpancasila. Meyakinkan mereka kalau pemuda sanggup mengemban amanah leluhur. Memajukan... dan menyejahterakan rakyat!
Senyuman bangga. Hari ini Yang Maha Baik kembali menunjukkan kuasa-Nya. Memberi anugerah semangat yang membumbung seketika. Sebelum tiba usia lanjutku, aku akan menggunakan baik-baik dan menjaga semangat ini. Membanggakan orang tua, juga seluruh dunia. Menggantung cita-cita lebih tinggi dari bintang-bintang di langit. Menggapai imajinasi nirbatas yang mampu menghentak dunia!
Aku menutup mulutku yang menguap. Memanjatkan do’a sebelum tidur kepada-Nya. Hmm... semoga aku masih bisa menikmati aroma mentari terbit esok. Mulai berkarya dan berkarya. Karena inilah saatnya... kita, yang muda yang berprestasi!!!
Terimakasih, kek.






Febthia Rika Ramadhaniah
SMA Negeri 7 Pontianak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar