Selasa, 02 April 2013

Mengejar Bintang Melepas Lintang


Mengejar Bintang Melepas Lintang
 oleh : Andini Puji Lestari

“Apapun yang terlintas di benak kalian mengenai atlet. Baik itu sisi baik atau buruk yang lebih mendominasi. Kami sangat menerima semua argumen anda, intinya kami sebagai atlet hanya ingin berprestasi dan terus berprestasi dalam bidang apapun terutama olahraga. Terima kasih”. Tepuk tangan pun begitu membahana ketika Lintang selesai menutup pembelaannya dalam lomba debat yang baru kali ini di adakan. Lomba yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Kota Pinrang ini diperuntukkan bagi siswa dengan jenjang SMA atau sederajat. Dan Lintang merupakan salah satu dari tiga siswa perwakilan MAN Pinrang untuk mengikuti lomba ini.
“Baiklah saudara – saudara, keputusan juri pada sesi final lomba debat antara tim MAN Pinrang melawan SMA 1 Pinrang dimenangkan oleh . . .”, suara pembawa acara itu tegang. Semua yang ada di ruangan itu berharap – harap sekolah mereka lah yang akan menang. Persaingan kedua sekolah ini memang cukup sengit. Di bidang non akademik olahraga saja mereka saling mengejar prestasi. Saling melirik antar kedua sekolah ini pun terjadi.
“Dimenangkan oleh SMA 1 Pinrang sebagai tim kontra”, sambung pembawa acara dengan nada tinggi seiring tinggi nya matahari hari ini. Suasana menjadi riuh. Tepuk tangan dan sorakan kemenangan ramai terdengar. Seketika Lintang dan murid – murid MAN Pinrang yang ada di ruangan itu terdiam dan memendam rasa. Namun, tak lama setelah itu, raut wajah Lintang yang tadinya muram berubah menjadi ceria. Ia melebarkan senyumannya yang dibingkai jilbab putih itu. Ia memang merasa kesal dengan keputusan juri, tapi Ia tidak ingin hal ini mematahkan semangatnya dan teman – temannya. Ia mendekati teman – temannya dan berbisik, “udah SMA ah, masa kalah nangis, jadikan ini sebagai salah satu cerita yang indah untuk kita Autobiografi kan yang isinya tidak hanya kemenangan dan kesenangan saja”. Mereka pun kembali tertawa lepas. Mereka merasa apa yang dikatakan Lintang itu benar.
 Tiba – tiba dari balik kerumunan siswa SMA Pinrang terlihat seseorang menghampiri tempat duduk Lintang. “Ih katanya mau jadi pemenang di segala hal. Nyatanya ? Mimpi aja haha”, ujar Linka terbahak. Linka adalah salah satu lawan terberat Lintang dalam bidang atletik. Sebenarnya Linka dan Lintang adalah teman masa kecil. Namun karena suatu kesalahpahaman, akhirnya Linka pun bersikap arogan dengan Lintang. Linka lalu kembali ke kerumunan sekolah nya. Senyum sinis nya seperti melekat di pikiran Lintang. “Ingat Lintang, dia sahabatmu. Jangan terpancing”, gumam remaja berbola mata coklat ini menasihati dirinya.
Anak semata wayang bukan berarti harus di manja bukan?. Itulah kata – kata yang bisa menggambarkan kondisi keseharian Lintang. Ayah yang berprofesi sebagai kontraktor dan ibu seorang direktur mengharuskan siswi kelas sebelas ipa ini mandiri sejak kecil. “Lintang, papa ada pertemuan sama relasi papa jadi mungkin pulang nya agak malam”, ujar Pak Warto. Lintang mengangguk dan Ia memandang kearah mama nya dengan mata memelas. “Maaf sayang, mama lembur. Ada yang harus dirapatkan kan kembali untuk acara besok. Jadi nanti malam kamu makan saja dulu jangan tunggu mama papa. Iya sayang?” Lintang hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Ia sepertinya telah paham dengan kesibukan kedua orangtuanya.
Orangtua Lintang sebenarnya tidak mengetahui kalau Ia adalah seorang atlet lari. Lintang tidak pernah memberitahu akan kesehariaannya kepada orangtua. Pernah suatu ketika, saat Lintang akan memberi tahu orangtuanya mengenai kegiatan atletiknya, orangtua nya hanya mengangguk – anggukan dan tertawa. Ternyata saat itu orangtuanya sedang menelpon dan tidak tahu akan apa yang di katakan Lintang. Sejak saat itulah Lintang merasa tidak penting untuk memberi tahu perihal itu ke orangtuanya. Orangtuanya terlalu sibuk pikirnya. Gadis enam belas tahun ini tidak ingin berpikiran negatif yang bisa membuat hubungan Ia dan orangtuanya rusak. Malah dengan ketidakpedulian orangtuanya itu Ia jadikan motivasi untuk lebih giat berlatih. Lintang hanya ingin di kemudian hari orangtuanya akan bangga dengan hasil latihan giat Lintang. Lintang benar – benar ingin orangtuanya tersenyum bangga.
Setelah orangtuanya berangkat kerja, Lintang pun bergegas ke sekolah. Sesampainya di gerbang sekolah, Ia melihat beberapa temannya yang diantar oleh orangtua mereka. Ada sedikit rasa iri yang mengganjal di hati Lintang. Mengapa orangtuanya tidak pernah seperti itu, gumamnya. Ia terdiam sejenak. Dipandang nya langit biru di atas sana. Ia pun tersenyum. “Allah telah merencanakan seindah – indahnya hidup aku”, bisik Lintang dalam hati.
Hari silih berganti. Sebuah ajang bergengsi, PORSENI tinggal tiga hari lagi. Lintang sangat antusias untuk mengikuti lomba ini. Sepulang sekolah Lintang langsung menuju GOR untuk latihan rutin lari. Walaupun Ia lelah dan ada sedikit rasa malas yang mengganjal, Lintang kukuh untuk latihan hari ini. Ditambah lagi dengan motto andalannya ketika malas menerjang, ‘Berusaha lah kamu seakan – akan kamu hidup seribu tahun lagi’, ini membuatnya sangat bergairah untuk latihan kali ini. Seragam olahraga panjang lengkap dengan jilbab telah Ia pakai. Setelah pemanasan ringan, Ia pun melaju. Terik matahari tak Ia hiraukan. Yang ada dipikirannya hanya kemenangannya yang akan Ia buktikan kepada orangtuanya.
Suara kaki Lintang terdengar semakin kuat. “Baiklah. Selesai. Waktu hari ini sangat baik dari yang lalu. Kemajuan kamu cukup pesat.”, ujar Pak Wisnu selaku pelatih lari Lintang. Lintang melompat gembira. Dia pun duduk di bangku istirahat sambil mengatur nafas. “Pak, Linka kok akhir – akhir ini jarang latihan sih?, Tanya Lintang kepada pelatihnya dengan nada sendu. “Iya. Mungkin dia ada masalah, Tang”, jawab Pak Wisnu mencoba menenangkan Lintang. Tiba – tiba dari belakang Lintang datang Linka. “Memangnya kenapa kalau aku tidak latihan, apa merugikan kamu?”, sahut Linka dengan wajah merah padam. “Tidak juga, aku hanya mau kamu latihan lebih giat lagi. Biar kamu …”, ujar Lintang sambil menunduk. “Biar apa?”, Linka menyambung. “Pikirkan saja sendiri”, ujar Lintang mengurungkan jawabannya.
Lintang pun kembali ke rumahnya. Rumah yang bercat hijau muda ini menjadi saksi mati keceriaan dan kesedihan Lintang selama ini. Seperti biasa suasana di rumah ini sangat sepi. Rumah ini sangat merindukan kasih sayang di dalamnya, sama seperti hati Lintang.
Jam dinding berbingkai kepala mickey mouse menunjukkan pukul lima sore. Lintang masuk kedalam kamar nya dan Ia pun merebahkan badannya. Ia terlelap. Remaja putih berhidung mancung ini ketika tidur masih saja melengkingkan senyumannya. Dalam lelapannya. Lintang seperti ada di sebuah halte bis. Ia memakai pakaian serba putih dan tidak membawa apa – apa. Saat bis datang, orangtua dan teman – teman Lintang hanya melambaikan tangan kepada Lintang yang duduk di kursi penumpang bis itu. Lintang merasa sangat gembira. Seperti tidak ada beban yang di rasakannya saat itu. Perlahan bis itu meninggalkan kerumunan orang – orang yang sangat dicintai Lintang.
Hari yang ditunggu oleh Lintang pun datang. Lapangan atletik telah siap untuk di taklukinya. Cuaca pagi yang berawan sepertinya membawa pertanda buruk bagi para peserta. Masih ada beberapa menit waktu yang tersisa untuk mulai pertandingan. Setelah meminta ijin kepada pelatih, Ia pun bergegas menuju musholla yang letaknya bersebelahan dengan tempat Ia bertanding. Ia mengerjakan sholat dhuha 4 rakaat seperti yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW. Ketika berdoa, tak terasa tetes air mata mengalir di pipi nya. Ia tak mampu mengungkapkan semua perasaannya kala itu. Banyak doa yang Ia mohon ridhoi oleh Allah SWT. “Allah tolong bantu Lintang dalam mengurus perihal dunia dan jika semua nya sudah selesai, Lintang sayang sama Allah dan Allah sayang sama Lintang. Amiin”, ujar Lintang saat berdoa.
Saat berjalan menuju lapangan pertandingan, terdengar suara yang berteriak memanggil Lintang. Lintang menoleh kebelakang. Alangkah terkejutnya Ia setelah tahu siapa yang memanggilnya. “Lintang, maafin aku ya. Aku sudah berprasangka buruk sama kamu. Tadi Pak Wisnu bilang kalau sebenarnya kamu memperhatikan aku karena ingin kita terus meningkatkan kemampuan kita”, jelas Linka pada Lintang. Lintang pun tersenyum. Lalu mereka berdua berpelukan. “Allah telah mengabulkan doa kecil ku”, bisik Lintang dalam hati. Mereka pun bersama – sama berjalan menuju lapangan atletik.
“Peserta! Bersedia! Siap! Ya!”, teriak wasit memberi aba – aba. Suasana pun menjadi ramai dengan sorakan penonton. Semua peserta dalam cabang atletik ini sangat berambisi untuk menjadi pemenang. Terutama Lintang dan Linka. Di saat – saat terakhir pertandingan, Lintang dan Linka berada di garis depan. Lintang menambah kecepatan lari nya, bergitu juga Linka. Dan akhirnya selesai sudah pertandingan ini. Dengan selisih jarak hanya lima puluh sentimeter, Lintang menjadi pemenang dalam lomba ini. Lintang sangat gembira.
Keesokan hari nya di sekolah Lintang, sudah menjadi kebiasaan bagi para siswa berprestasi untuk menyerahkan piala lomba kepada pihak sekolah. Dan nama Lintang pun di panggil ke depan. Setelah Ia menyerahkan piala lomba. Tiba – tiba Ia merasa sangat lemah dan kepala nya sangat perih.
Di kantor mama Lintang, seperti biasa loper koran mengantarkan koran ke kantor ini. Bu Risti membaca Koran itu dan mendapati adanya nama Lintang beserta fotonya. Ia pun tertarik untuk membaca berita di halaman pertama koran daerah itu. ia tak bisa berkata apa – apa. Kepuasan dan kebanggaan tersendiri bagi Bu Risti yang memiliki anak seperti Lintang. Tiba – tiba kring kring .. Telepon genggam Bu Risti berdering. Ia terima panggilan telepon itu. “Bu, kami dari MAN Pinrang, ingin memberi tahu Ibu bahwa anak Ibu sekarang berada di ICU Rumah Sakit Daerah”, ujar orang tersebut. Dengan bergegas, Ibu Risti pun melesat ke rumah sakit itu.
Lintang kini terbaring di Ruang ICU, Ia tak sadarkan diri. Tak ada yang menyangka remaja seceria Lintang akan menerima cobaan seberat ini. Ia pun tak pernah memberi tanda – tanda kesakitan yang di alaminya. “ Gimana keadaan Lintang sekarang, Dok?”, ujar Pak Warto dengan penuh kecemasan. “ Anak bapak sedang melawan penyakit yang di diagnosis kanker otak. Berdoa saja Pak, mohon kesembuhan dari Allah”, jelas Dokter. Lintang sebenarnya sudah tahu penyakit ini telah lama bersarang di tubuh nya. Tak ada yang harus tahu pikirnya. Ia tak ingin ada yang mencemasi dirinya.
Minggu shubuh ini, Lintang masih tak sadarkan diri. Senyum di wajah nya tak luput walau dalam keadaan ini. Papa dan mama nya serta teman – teman Lintang duduk tertidur didepan pintu ICU. Suasana di rumah sakit ini hening.
Jari lentik Lintang bergerak. Oh Allah, ini kah keajaibanmu. Perawat yang berjaga di dekat Lintang segera memanggil Dokter dan memberitahu orangtua Lintang. Bergegas mereka pun masuk ke ruang ICU. Dokter mengambil stetoschopenya  dan memeriksa keadaan Lintang. Teman – teman Lintang yang tadinya tertidur pun terbangun. Mereka mendekat kearah pintu berkaca untuk melihat keadaan Lintang. “Lintang, ini mama sayang. Kamu sehat kan sayang ayo jawab mama”, ujar Bu Risti sembari memegang tangan Lintang. “Ma”, sahut Pak Warto mencoba menegarkan Bu Risti.
Jari telunjuk Lintang mengacung, di susul jari tengahnya. Orangtua Lintang heran. Di depan pintu ICU, teman – teman Lintang berpikir apa maksud tangan Lintang. “ Lintang menyuruh kita sholat shubuh”, terang Linka yang semalaman tidak tidur karena memikirkan Lintang. Sudah menjadi kebiasaan Lintang untuk mengingatkan teman – teman nya shalat dengan mengacungkan jari nya sesuai dengan banyak rakaat sholat kali itu, “Lintang, kamu ini masih saja memikirkan kami walau kamu sendiri sedang mengalami kesakitan”, ujar salah seorang teman Lintang .
Tahu akan maksud Lintang, mereka pun segera memberitahu orangtua Lintang. Pak Warto dan Bu Risti terkejut akan hal itu. Jari telunjuk dan tengah Lintang masih mengacung, tanda nya orangtua Lintang dan teman – temannya harus segera sholat shubuh. Namun sebagai seorang Ayah yang sangat menyayangi anaknya, Pak Warto tidak bisa begitu saja pergi bersama teman – teman Lintang lainnya untuk sholat. Pak Warto tidak sampai hati untuk meninggalkan anaknya walau hanya sedetik. Ia berpikir kalau memang Lintang tak berumur panjang, biarkanlah Ia selalu menemani di saat – saat terakhir Lintang hidup.
Ketika teman – teman Lintang kembali dari musholla. Ada yang aneh dari lintang, tangan nya masih mengacung dan raut muka nya menjadi muram.
“Pa, Mama akan menjaga Lintang. Ikuti kemauan Lintang, Pa”, ujar Bu Risti meyakinkan suaminya. Pak Warto mencium kening Lintang dan berjalan keluar dari ruang ICU. Di toleh nya ke belakang tangan Lintang masih mengacung tetapi muram di wajah nya berubah menjadi senyuman. Pak Warto pun mengerjakan sholat shubuh. Ia tak lupa berdoa kepada Allah untuk kesembuhan Lintang. Disela – sela doa nya tak terasa air mata nya menetes perlahan.
“Lintang sudah waktumu untuk kembali”
         “Tak ada kah kelonggaran waktu untuk ku?”
         “Tidak! Allah telah memerintahkanku untuk membawa mu!”
         “Baiklah. Hanya kepada Nya lah aku kembali. Alhamdulillah”
Kembali dari musholla, Pak Warto bergegas meuju ruang ICU. Dilihat nya teman – teman Lintang mengerumuni tempat tidur Lintang. Terbesit pikiran buruk padanya. Ia menghampiri kerumunan itu. “Semua nya bakal tetap sayang sama Lintang, kan? Maafin Lintang ya. Lintang mau mengejar bintang dulu”, ujar Lintang dengan suara bergetar di sela – sela nafas terakhirnya. Dan akhirnya monitor denyut nadi Lintang berhenti. Lintang kembali ke Rahmatullah. Dengan senyuman dan kata – kata terakhir itu semua orang yang berada di dalam ruang ICU menunduk sedih. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Untuk Lintang, ini kami yang menyayangi mu karena Allah. Walaupun surat ini kami tulis, kami tahu kamu tak mungkin membacanya. Tapi semoga Allah mengijinkan kamu membacanya. Kamu seperti alarm yang di turunkan Allah untuk menyadari kami yang kadang lupa dengan Nya. Kamu bagai kacamata yang dikirim Allah untuk membawa kami menuju pintu yang diridhoi nya. Dan kamu karena ijin Allah adalah segalanya bagi kami.
Selepas selama – lamanya kepergian kamu. Kamu akan selalu ada di hati kami, karena Allah.
Januari, 18 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar