Mengejar Bintang Melepas Lintang
oleh : Andini Puji Lestari
“Apapun yang terlintas di benak kalian
mengenai atlet. Baik itu sisi baik atau buruk yang lebih mendominasi. Kami
sangat menerima semua argumen anda, intinya kami sebagai atlet hanya ingin berprestasi
dan terus berprestasi dalam bidang apapun terutama olahraga. Terima kasih”.
Tepuk tangan pun begitu membahana ketika Lintang selesai menutup pembelaannya
dalam lomba debat yang baru kali ini di adakan. Lomba yang diselenggarakan oleh
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Kota Pinrang ini diperuntukkan bagi siswa
dengan jenjang SMA atau sederajat. Dan Lintang merupakan salah satu dari tiga
siswa perwakilan MAN Pinrang untuk mengikuti lomba ini.
“Baiklah saudara – saudara, keputusan
juri pada sesi final lomba debat antara tim MAN Pinrang melawan SMA 1 Pinrang
dimenangkan oleh . . .”, suara pembawa acara itu tegang. Semua yang ada di
ruangan itu berharap – harap sekolah mereka lah yang akan menang. Persaingan
kedua sekolah ini memang cukup sengit. Di bidang non akademik olahraga saja
mereka saling mengejar prestasi. Saling melirik antar kedua sekolah ini pun
terjadi.
“Dimenangkan oleh SMA 1 Pinrang sebagai
tim kontra”, sambung pembawa acara dengan nada tinggi seiring tinggi nya
matahari hari ini. Suasana menjadi riuh. Tepuk tangan dan sorakan kemenangan
ramai terdengar. Seketika Lintang dan murid – murid MAN Pinrang yang ada di
ruangan itu terdiam dan memendam rasa. Namun, tak lama setelah itu, raut wajah
Lintang yang tadinya muram berubah menjadi ceria. Ia melebarkan senyumannya
yang dibingkai jilbab putih itu. Ia memang merasa kesal dengan keputusan juri,
tapi Ia tidak ingin hal ini mematahkan semangatnya dan teman – temannya. Ia
mendekati teman – temannya dan berbisik, “udah SMA ah, masa kalah nangis,
jadikan ini sebagai salah satu cerita yang indah untuk kita Autobiografi kan yang
isinya tidak hanya kemenangan dan kesenangan saja”. Mereka pun kembali tertawa
lepas. Mereka merasa apa yang dikatakan Lintang itu benar.
Tiba – tiba dari balik kerumunan siswa SMA
Pinrang terlihat seseorang menghampiri tempat duduk Lintang. “Ih katanya mau
jadi pemenang di segala hal. Nyatanya ? Mimpi aja haha”, ujar Linka terbahak.
Linka adalah salah satu lawan terberat Lintang dalam bidang atletik. Sebenarnya
Linka dan Lintang adalah teman masa kecil. Namun karena suatu kesalahpahaman,
akhirnya Linka pun bersikap arogan dengan Lintang. Linka lalu kembali ke
kerumunan sekolah nya. Senyum sinis nya seperti melekat di pikiran Lintang. “Ingat
Lintang, dia sahabatmu. Jangan terpancing”, gumam remaja berbola mata coklat
ini menasihati dirinya.
Anak semata
wayang bukan berarti harus di manja bukan?. Itulah kata – kata yang bisa
menggambarkan kondisi keseharian Lintang. Ayah yang berprofesi sebagai
kontraktor dan ibu seorang direktur mengharuskan siswi kelas sebelas ipa ini
mandiri sejak kecil. “Lintang, papa ada pertemuan sama relasi papa jadi mungkin
pulang nya agak malam”, ujar Pak Warto. Lintang mengangguk dan Ia memandang kearah
mama nya dengan mata memelas. “Maaf sayang, mama lembur. Ada yang harus
dirapatkan kan kembali untuk acara besok. Jadi nanti malam kamu makan saja dulu
jangan tunggu mama papa. Iya sayang?” Lintang hanya mengangguk dan tersenyum
kecil. Ia sepertinya telah paham dengan kesibukan kedua orangtuanya.
Orangtua Lintang
sebenarnya tidak mengetahui kalau Ia adalah seorang atlet lari. Lintang tidak
pernah memberitahu akan kesehariaannya kepada orangtua. Pernah suatu ketika,
saat Lintang akan memberi tahu orangtuanya mengenai kegiatan atletiknya,
orangtua nya hanya mengangguk – anggukan dan tertawa. Ternyata saat itu
orangtuanya sedang menelpon dan tidak tahu akan apa yang di katakan Lintang.
Sejak saat itulah Lintang merasa tidak penting untuk memberi tahu perihal itu
ke orangtuanya. Orangtuanya terlalu sibuk pikirnya. Gadis enam belas tahun ini
tidak ingin berpikiran negatif yang bisa membuat hubungan Ia dan orangtuanya
rusak. Malah dengan ketidakpedulian orangtuanya itu Ia jadikan motivasi untuk
lebih giat berlatih. Lintang hanya ingin di kemudian hari orangtuanya akan
bangga dengan hasil latihan giat Lintang. Lintang benar – benar ingin
orangtuanya tersenyum bangga.
Setelah orangtuanya berangkat kerja,
Lintang pun bergegas ke sekolah. Sesampainya di gerbang sekolah, Ia melihat
beberapa temannya yang diantar oleh orangtua mereka. Ada sedikit rasa iri yang
mengganjal di hati Lintang. Mengapa orangtuanya tidak pernah seperti itu,
gumamnya. Ia terdiam sejenak. Dipandang nya langit biru di atas sana. Ia pun
tersenyum. “Allah telah merencanakan seindah – indahnya hidup aku”, bisik
Lintang dalam hati.
Hari silih berganti. Sebuah ajang
bergengsi, PORSENI tinggal tiga hari lagi. Lintang sangat antusias untuk
mengikuti lomba ini. Sepulang sekolah Lintang langsung menuju GOR untuk latihan
rutin lari. Walaupun Ia lelah dan ada sedikit rasa malas yang mengganjal,
Lintang kukuh untuk latihan hari ini. Ditambah lagi dengan motto andalannya
ketika malas menerjang, ‘Berusaha lah kamu seakan – akan kamu hidup seribu
tahun lagi’, ini membuatnya sangat bergairah untuk latihan kali ini. Seragam
olahraga panjang lengkap dengan jilbab telah Ia pakai. Setelah pemanasan
ringan, Ia pun melaju. Terik matahari tak Ia hiraukan. Yang ada dipikirannya
hanya kemenangannya yang akan Ia buktikan kepada orangtuanya.
Suara kaki Lintang terdengar semakin
kuat. “Baiklah. Selesai. Waktu hari ini sangat baik dari yang lalu. Kemajuan
kamu cukup pesat.”, ujar Pak Wisnu selaku pelatih lari Lintang. Lintang
melompat gembira. Dia pun duduk di bangku istirahat sambil mengatur nafas. “Pak,
Linka kok akhir – akhir ini jarang latihan sih?, Tanya Lintang kepada
pelatihnya dengan nada sendu. “Iya. Mungkin dia ada masalah, Tang”, jawab Pak
Wisnu mencoba menenangkan Lintang. Tiba – tiba dari belakang Lintang datang Linka.
“Memangnya kenapa kalau aku tidak latihan, apa merugikan kamu?”, sahut Linka
dengan wajah merah padam. “Tidak juga, aku hanya mau kamu latihan lebih giat
lagi. Biar kamu …”, ujar Lintang sambil menunduk. “Biar apa?”, Linka
menyambung. “Pikirkan saja sendiri”, ujar Lintang mengurungkan jawabannya.
Lintang pun kembali ke rumahnya. Rumah
yang bercat hijau muda ini menjadi saksi mati keceriaan dan kesedihan Lintang
selama ini. Seperti biasa suasana di rumah ini sangat sepi. Rumah ini sangat
merindukan kasih sayang di dalamnya, sama seperti hati Lintang.
Jam dinding berbingkai kepala mickey mouse menunjukkan pukul lima sore.
Lintang masuk kedalam kamar nya dan Ia pun merebahkan badannya. Ia terlelap. Remaja
putih berhidung mancung ini ketika tidur masih saja melengkingkan senyumannya. Dalam
lelapannya. Lintang seperti ada di sebuah halte bis. Ia memakai pakaian serba
putih dan tidak membawa apa – apa. Saat bis datang, orangtua dan teman – teman
Lintang hanya melambaikan tangan kepada Lintang yang duduk di kursi penumpang
bis itu. Lintang merasa sangat gembira. Seperti tidak ada beban yang di
rasakannya saat itu. Perlahan bis itu meninggalkan kerumunan orang – orang yang
sangat dicintai Lintang.
Hari yang ditunggu oleh Lintang pun
datang. Lapangan atletik telah siap untuk di taklukinya. Cuaca pagi yang
berawan sepertinya membawa pertanda buruk bagi para peserta. Masih ada beberapa
menit waktu yang tersisa untuk mulai pertandingan. Setelah meminta ijin kepada
pelatih, Ia pun bergegas menuju musholla yang letaknya bersebelahan dengan
tempat Ia bertanding. Ia mengerjakan sholat dhuha 4 rakaat seperti yang
disunnahkan oleh Rasulullah SAW. Ketika berdoa, tak terasa tetes air mata
mengalir di pipi nya. Ia tak mampu mengungkapkan semua perasaannya kala itu.
Banyak doa yang Ia mohon ridhoi oleh Allah SWT. “Allah tolong bantu Lintang
dalam mengurus perihal dunia dan jika semua nya sudah selesai, Lintang sayang
sama Allah dan Allah sayang sama Lintang. Amiin”, ujar Lintang saat berdoa.
Saat berjalan menuju lapangan pertandingan,
terdengar suara yang berteriak memanggil Lintang. Lintang menoleh kebelakang.
Alangkah terkejutnya Ia setelah tahu siapa yang memanggilnya. “Lintang, maafin
aku ya. Aku sudah berprasangka buruk sama kamu. Tadi Pak Wisnu bilang kalau
sebenarnya kamu memperhatikan aku karena ingin kita terus meningkatkan
kemampuan kita”, jelas Linka pada Lintang. Lintang pun tersenyum. Lalu mereka
berdua berpelukan. “Allah telah mengabulkan doa kecil ku”, bisik Lintang dalam
hati. Mereka pun bersama – sama berjalan menuju lapangan atletik.
“Peserta! Bersedia! Siap! Ya!”, teriak
wasit memberi aba – aba. Suasana pun menjadi ramai dengan sorakan penonton.
Semua peserta dalam cabang atletik ini sangat berambisi untuk menjadi pemenang.
Terutama Lintang dan Linka. Di saat – saat terakhir pertandingan, Lintang dan
Linka berada di garis depan. Lintang menambah kecepatan lari nya, bergitu juga
Linka. Dan akhirnya selesai sudah pertandingan ini. Dengan selisih jarak hanya
lima puluh sentimeter, Lintang menjadi pemenang dalam lomba ini. Lintang sangat
gembira.
Keesokan hari nya di sekolah Lintang,
sudah menjadi kebiasaan bagi para siswa berprestasi untuk menyerahkan piala
lomba kepada pihak sekolah. Dan nama Lintang pun di panggil ke depan. Setelah
Ia menyerahkan piala lomba. Tiba – tiba Ia merasa sangat lemah dan kepala nya
sangat perih.
Di kantor mama Lintang, seperti biasa
loper koran mengantarkan koran ke kantor ini. Bu Risti membaca Koran itu dan
mendapati adanya nama Lintang beserta fotonya. Ia pun tertarik untuk membaca
berita di halaman pertama koran daerah itu. ia tak bisa berkata apa – apa.
Kepuasan dan kebanggaan tersendiri bagi Bu Risti yang memiliki anak seperti
Lintang. Tiba – tiba kring kring .. Telepon genggam Bu Risti berdering. Ia
terima panggilan telepon itu. “Bu, kami dari MAN Pinrang, ingin memberi tahu
Ibu bahwa anak Ibu sekarang berada di ICU Rumah Sakit Daerah”, ujar orang
tersebut. Dengan bergegas, Ibu Risti pun melesat ke rumah sakit itu.
Lintang kini terbaring di Ruang ICU, Ia
tak sadarkan diri. Tak ada yang menyangka remaja seceria Lintang akan menerima
cobaan seberat ini. Ia pun tak pernah memberi tanda – tanda kesakitan yang di
alaminya. “ Gimana keadaan Lintang sekarang, Dok?”, ujar Pak Warto dengan penuh
kecemasan. “ Anak bapak sedang melawan penyakit yang di diagnosis kanker otak. Berdoa
saja Pak, mohon kesembuhan dari Allah”, jelas Dokter. Lintang sebenarnya sudah
tahu penyakit ini telah lama bersarang di tubuh nya. Tak ada yang harus tahu
pikirnya. Ia tak ingin ada yang mencemasi dirinya.
Minggu shubuh ini, Lintang masih tak
sadarkan diri. Senyum di wajah nya tak luput walau dalam keadaan ini. Papa dan
mama nya serta teman – teman Lintang duduk tertidur didepan pintu ICU. Suasana
di rumah sakit ini hening.
Jari lentik Lintang bergerak. Oh Allah,
ini kah keajaibanmu. Perawat yang berjaga di dekat Lintang segera memanggil
Dokter dan memberitahu orangtua Lintang. Bergegas mereka pun masuk ke ruang
ICU. Dokter mengambil stetoschopenya dan memeriksa keadaan Lintang. Teman – teman
Lintang yang tadinya tertidur pun terbangun. Mereka mendekat kearah pintu
berkaca untuk melihat keadaan Lintang. “Lintang, ini mama sayang. Kamu sehat
kan sayang ayo jawab mama”, ujar Bu Risti sembari memegang tangan Lintang. “Ma”,
sahut Pak Warto mencoba menegarkan Bu Risti.
Jari telunjuk Lintang mengacung, di
susul jari tengahnya. Orangtua Lintang heran. Di depan pintu ICU, teman – teman
Lintang berpikir apa maksud tangan Lintang. “ Lintang menyuruh kita sholat
shubuh”, terang Linka yang semalaman tidak tidur karena memikirkan Lintang. Sudah
menjadi kebiasaan Lintang untuk mengingatkan teman – teman nya shalat dengan
mengacungkan jari nya sesuai dengan banyak rakaat sholat kali itu, “Lintang,
kamu ini masih saja memikirkan kami walau kamu sendiri sedang mengalami
kesakitan”, ujar salah seorang teman Lintang .
Tahu akan maksud Lintang, mereka pun
segera memberitahu orangtua Lintang. Pak Warto dan Bu Risti terkejut akan hal
itu. Jari telunjuk dan tengah Lintang masih mengacung, tanda nya orangtua
Lintang dan teman – temannya harus segera sholat shubuh. Namun sebagai seorang
Ayah yang sangat menyayangi anaknya, Pak Warto tidak bisa begitu saja pergi
bersama teman – teman Lintang lainnya untuk sholat. Pak Warto tidak sampai hati
untuk meninggalkan anaknya walau hanya sedetik. Ia berpikir kalau memang
Lintang tak berumur panjang, biarkanlah Ia selalu menemani di saat – saat
terakhir Lintang hidup.
Ketika teman – teman Lintang kembali
dari musholla. Ada yang aneh dari lintang, tangan nya masih mengacung dan raut
muka nya menjadi muram.
“Pa, Mama akan menjaga Lintang. Ikuti kemauan Lintang, Pa”, ujar Bu Risti meyakinkan suaminya. Pak Warto mencium kening Lintang dan berjalan keluar dari ruang ICU. Di toleh nya ke belakang tangan Lintang masih mengacung tetapi muram di wajah nya berubah menjadi senyuman. Pak Warto pun mengerjakan sholat shubuh. Ia tak lupa berdoa kepada Allah untuk kesembuhan Lintang. Disela – sela doa nya tak terasa air mata nya menetes perlahan.
“Pa, Mama akan menjaga Lintang. Ikuti kemauan Lintang, Pa”, ujar Bu Risti meyakinkan suaminya. Pak Warto mencium kening Lintang dan berjalan keluar dari ruang ICU. Di toleh nya ke belakang tangan Lintang masih mengacung tetapi muram di wajah nya berubah menjadi senyuman. Pak Warto pun mengerjakan sholat shubuh. Ia tak lupa berdoa kepada Allah untuk kesembuhan Lintang. Disela – sela doa nya tak terasa air mata nya menetes perlahan.
“Lintang
sudah waktumu untuk kembali”
“Tak ada kah kelonggaran waktu untuk ku?”
“Tidak! Allah telah memerintahkanku untuk membawa mu!”
“Baiklah. Hanya kepada Nya lah aku kembali. Alhamdulillah”
“Tak ada kah kelonggaran waktu untuk ku?”
“Tidak! Allah telah memerintahkanku untuk membawa mu!”
“Baiklah. Hanya kepada Nya lah aku kembali. Alhamdulillah”
Kembali dari musholla, Pak Warto
bergegas meuju ruang ICU. Dilihat nya teman – teman Lintang mengerumuni tempat
tidur Lintang. Terbesit pikiran buruk padanya. Ia menghampiri kerumunan itu. “Semua
nya bakal tetap sayang sama Lintang, kan? Maafin Lintang ya. Lintang mau
mengejar bintang dulu”, ujar Lintang dengan suara bergetar di sela – sela nafas
terakhirnya. Dan akhirnya monitor denyut nadi Lintang berhenti. Lintang kembali
ke Rahmatullah. Dengan senyuman dan kata – kata terakhir itu semua orang yang
berada di dalam ruang ICU menunduk sedih. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Untuk Lintang, ini kami
yang menyayangi mu karena Allah. Walaupun surat ini kami tulis, kami tahu kamu
tak mungkin membacanya. Tapi semoga Allah mengijinkan kamu membacanya. Kamu
seperti alarm yang di turunkan Allah untuk menyadari kami yang kadang lupa
dengan Nya. Kamu bagai kacamata yang dikirim Allah untuk membawa kami menuju
pintu yang diridhoi nya. Dan kamu karena ijin Allah adalah segalanya bagi kami.
Selepas selama –
lamanya kepergian kamu. Kamu akan selalu ada di hati kami, karena Allah.
Januari, 18 2010
Januari, 18 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar