KELAS :
XII IPA
ASAL SEKOLAH : MAN 1 PONTIANAK
SURAT DARI SURGA
Aku, itulah yang harus
kupertanyakan dalam batin yang penuh gejolak akan dunia dan akhirat. Dengan
rasa bingung yang semakin memuncak seperti gunung pasir dan terlebih lagi aku
harus memilah-milah diantara yang benar dan salah atau bisa dibilang antara
yang nyata dan imajinasi. Perasaan ini atau bisa dibilang masalah ini tidak
pernah kutemukan dari masalah-masalah sebelumnya yang begitu berat, namun
masalah ini jauh lebih bahkan sangat-sangatlah berat. Entah di mana awalnya
kisahku ini bermula, namun kuakui ingatan ini harus kutelusuri lagi.
Seperti biasa pada
malam mingguan, anak muda pada nongkrong untuk mencari sensasi akan
malam-malam
gemerlapnya itu. Tak lain adalah untuk menghibur hati yang sedemikian banyaknya
tertimbun masalah, bisa disebut mengobati kegalauan pada malam mingguan, bisa
jadi malah menambah catatan pribadi tentang kegalauan pada malam mingguan.
Aku, seperti biasa pada
malam mingguan. Memakai celana botol dengan banyak sobekan, baju hitam diiringi
banyaknya striker anak punk, tak lupa kepala botak disertai tato ayah di
atasnya. Pergi ke warung kopi menggunakan motor king yang penuh goresan serta
karatan. Warung kopi hanya nama samara dalam pusaran malam.
Dalam heningnya malam
dan bisunya rembulan aku menyusuri kegelapan demi kegelapan mengguanakan lampu
motorku yang tidak ada kacanya, ditambah lagi lampunya kelap-kelip seperti
lampu diskotik. Dengan tangan yang berkeringat dan jantung yang berdebar-debar,
aku tak sabar menanti kopiku yang bercap Teler atau Mati disingkat
TELTI. Bukan TELTI tujuannya, tapi sebuah aroma yang akan segera mendekapku, meyelimutiku,
menghibur kalbuku sambil memberi cap ke wajahku.
Mataku mulai buyar
karena jam sudah menunjukkan pukul 12.00 malam. Apalagi jaraknya yang begitu
jauh disertai pula angin malam memijat-mijat sumsum tulangku. Ditambah Sang
Rembulan yang segera membuka buku dongeng yang berjudul, TIDURLAH.
Kelamnya malam
membuatku sempat tertidur di motor yang tak pernah kucuci dari pertama kali
dikredit oleh almarhum ayahku. Sssrrtt! Aku mengerem hingga ban belakang
motorku terangkat sekitar satu meter lebih. Dengan jantung yang hampir copot
aku terdiam sejenak sambil memikirkan, “Bukankah itu tikus!” Aku turun dari motor
namun kulihat hanya sebuah batu kecil yang terjebak di tengah jalan yang aku
kira tikus. Kumasukkan saja batu kecil itu di saku celanaku yang penuh akan
bungkus permen bekas cicipan bulan lalu.
Tak terasa aku sampai
di warung kopi yang reyot. Warung yang menjorok ke dalam hingga hampir mencapai
di tanah kuburan. Kemudian aku turun dari motor dengan sepatu yang mengkilap
berlogo haram. Tak disangka, plat motor belakangku sudah kehilangan sebuah
sekrup hingga aku kira plat motorku sempat-sempatnya melambai-lambai memanggil
sekelompok polisi barusan, sampai-sampai wajahku ini berkeringat seperti
sehabis berwudhu karena dilirik oleh segerombol mata yang tajam.
Langkahku pun menyusuri
pintu yang sangat-sangat kelam. Kulihat di dalam tak seperti dunia luar yang
kian membisu. Di sini seperti siang hari. Ditemani cahaya diskotik yang
berwarna-warni seperti cahaya pelangi, bermodalkan lagu rock dan hip-hop para
pengunjung menari-nari sambil ditemani sebotol bir yang bertuliskan halal, kata
mereka.
Aku melangkah dan
melangkah dengan wajah yang sangat bahagia menuju kursi tempat biasa aku
memesan dua botol bir. Dengan senyum yang dibuat-buat, aku melirik di setiap
pengunjung dengan mata yang sudah kehilangan cekungnya. Aku tak melihat
pujaanku melintas dalam kacamata lensaku. Sambil melirik dengan tajam, aku
berpikir bahwa dia tidak akan datang apalagi dengan tangan yang sudah
menggenggam setumpuk uang. Dengan tangan kiri yang menopang kepala sambil
meminum bir, hatiku terlintas sederetan isyarat bahwa harum wewangian rembulan
malam, pelukan angin malam, penambal hati yang kelam, bir yang berserakan,
tidak akan menemaniku pada malam ini.
Jam sudah menunjukkan
pukul 02.00 malam. Dengan angin yang membawa embun-embun malam aku melihat para
pengunjung sudah memakai jaket karena kedinginan. Tapi aku tidak, bukan karena
tidak punya jaket tapi aku merasa kepanasan sebab apa yang harus kukatakan
kepada juragan perihal sebuah cincin yang aku jual, terlebih lagi marahnya aku
pada malam ini.
Dengan mata yang
memerah, aku menjadi geram akan kehidupan dunia. Dikarenakan aku sejak dahulu
tertimpa masalah yang cukup berat padahal umurku baru sembilan tahun. Dituduh
membunuh ayah sendiri. Padahal sebelum kejadian ada seseorang dengan topeng
abu-abu menggerek leher ayahku hingga hampir putus. Dengan sigap aku menolong
ayahku sambil memegang pisau berdarah bekas orang itu. Namun warga setempat
melihatku memegang pisau itu. Lantas akulah yang dituduh. Karena tak ada bukti
yang kuat aku bebas dari tuduhan itu. Aneh dunia ini.
Tak lama kemudian aku
sendiri di ruang ini. Kuteguk berkali-kali bir kesukaanku itu dengan lancarnya.
Mengharap sebuah kenangan yang suram dapat hilang dalam ingatanku yang semakin
fana. Entah sudah berapa kali aku ke sini, tak terhitung berapa kali. Tapi aku
belum pernah ketahuan oleh ibuku yang sempat memenjarakanku. Sudah tahu atau
tidak itu tak penting, yang penting bisa meneguk sebuah bir cap TELTI, itu
sudah membuatku sedikit bahagia meskipun kegundahan semakin bertumpuk-tumpuk
seperti laporan anak kuliahan.
Dengan memangku jabatan
sebagai anak SMA kelas sebelas, aku tak pedulikan semua itu. Dengan guru yang
selalu memarahiku seperti neraka jahannam, tak khayal aku menjadi bosan akan
pendidikan. Bahkan sama guru pun aku pernah menamparnya hingga hidungnya mengeluarkan
darah, aku tak menyesal sedikitpun, malah sebaliknya.
Tak terasa jam sudah
menunjukkan pukul 03.00 malam dan tak terasa pula aku sudah meminum sebanyak
empat botol bir. Tak biasanya aku seperti ini. Aku seperti sehabis ditelan bumi
dengan lemahnya aku mencari secercah penarikan kehidupan lagi. Kemudian aku
tidur dengan pulasnya sambil ditemani cahaya malam.
Itulah kisahku, tapi
kenapa aku bisa terbaring di rumah sakit. Apakah suster itu benar bahwa aku
mengalami overdosis yang sangat tinggi. Namun anehnya, kenapa di bawah bantalku
ada sebuha kain putih yang sangat asing bagiku. Dan terlebih lagi, batu kecil
itu berubah menjadi sebuah berlian merah yang sangat cantik jelita seperti
bidadari dihiasi cahaya pelangi. Sebelum berlanjut, akan kuceritakan lagi
sebuah mimpiku sehabis meneguk minuman haram itu. Mimpi yang tak mungkin
dialami oleh seorang pendurhaka, pencuri, bahkan aku bisa bilang orang yang
taat pun belum tentu bisa mengalaminya. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Seketika aku duduk di
sebuah istana yang sangat-sangat megah. Di balik kaca kulihat rumput, pohon
maupun lainnya seperti memberi isyarat kepadaku. Aku turun dari singgasana yang
sedemikian cantiknya. Aku menuju sebuah taman yang dikelilingi oleh sungai
susu, sungai arak, sungai madu dengan luas sungai yang tak bisa kukira berapa
luasnya. Aku terheran-heran, “Tempat tinggal siapa ini?” Aroma yang sangat
menyejukkan hati dan pemandangan yang menyejukkan hati pula. Hati tenang
seperti rembulan ditemani oleh bintang-bintang.
Dalam penglihatanku
yang berbinar-binar ada suara kecil yang menyahut, “Tuan kenapa sudah di sini…”
Kemudian aku menjawab, “Kamu, siapa?” Tak lama kemudian suara itu menyahut
kembali, “Aku adalah amalmu, tuan sendiri tak mengetahuinya bahkan tuan tak
tahu itu adalah sebuah amal. Semua ini milikmu tuan…”
Tak lama kemudian
datang seorang wanita cantik, bahkan kecantikannya tak bisa ditandingi oleh
wanita-wanita mana pun. Dia memberiku sebuah gelas yang berisikan bir, entah
kenapa dia memberiku bir. Setelah kucicipi, sungguh nikmat rasanya, nikmat
sekali. Namun anehnya dia mengatakan, “Aku rindu padamu…”
Itulah kisah mimpiku
yang aku sendiri tidak tahu entah di mana mimpi itu berada. Sampai-sampai
lidahku ini masih merasakan nikmat bir itu yang sangat lezatnya. Kemudian aku
langsung turun dari ranjang tidurku sambil membawa kain putih yang ada di bawah
bantalku. Kulihat diriku di kaca, “Ada apa denganku?” Kurebahkan kain itu
ternyata adalah sebuah pakaian muslim yang biasa disebut gamis. Dengan cepatnya
aku memakai pakaian itu, namun, pakaian itu sangat lembut kepadaku. Seperti
tangan seorang ibu yang mengelus-ngelus anaknya. Aku heran, kenapa dia rela
mendekapku, memangilku serta merampasku dalam buaian kehancuran. Aku yang
bejat, apakah pantas menerima semua kenikmatan-Nya?
Kutatap wajahku yang
semakin bersinar. Dari mana aku bisa mendapatkan semua ini? Aku bingung mencari
jawaban karena kebaikan sekecilpun tidak pernah kulakukan. Kutatap lagi wajahku
dengan senyum yang tidak lagi dibuat-buat. “Apakah benar ini diriku?”
Sudah beberapa jam aku
berdiri memandang wajahku sendiri. Sambil mengingat-ngingat kejadian masa
lampau yang sangat mengerikan bagi kehidupanku sekarang. Bir cap TELTI yang
selalu menghiburku, menjadi sahabat hidup matiku, kini sudah kutinggalkan
bersama aroma busuk yang selalu menyayat lidahku. Wewangian rembulan malam
alias perempuan, kini kucampakkan di tujuh sumur kehinaan. Kegalauan yang
selalu menerkam kehidupanku, sekarang sudah menjelma menjadi bulir-bulir
kesyahduan.
Sempat aku bertanya
kepada diriku sendiri, “Apakah Dia hanya mempermainkanku?” Namun aku percaya
bahwa Dia rindu padaku, rindu akan kebaikan yang aku sendiri tidak tahu
kebaikan apa yang membuat Dia melihat lalu mengambilku dalam dunia-dunia setan
itu.
Kemudian aku berjalan
hendak keluar dari ruangan ini dan kulihat ibuku duduk termenung, yang aku kira
ibuku sedang memikirkan hidup dan matiku. Sungguh hidupku menjadi berarti
sekarang. Seperti rumput yang merindukan embun-embun malam. “Ibu…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar