Selasa, 02 April 2013

Surat dari Surga


NAMA                       : AMIR RIFANI
KELAS                      : XII IPA
ASAL SEKOLAH  : MAN 1 PONTIANAK

SURAT DARI SURGA

Aku, itulah yang harus kupertanyakan dalam batin yang penuh gejolak akan dunia dan akhirat. Dengan rasa bingung yang semakin memuncak seperti gunung pasir dan terlebih lagi aku harus memilah-milah diantara yang benar dan salah atau bisa dibilang antara yang nyata dan imajinasi. Perasaan ini atau bisa dibilang masalah ini tidak pernah kutemukan dari masalah-masalah sebelumnya yang begitu berat, namun masalah ini jauh lebih bahkan sangat-sangatlah berat. Entah di mana awalnya kisahku ini bermula, namun kuakui ingatan ini harus kutelusuri lagi.
Seperti biasa pada malam mingguan, anak muda pada nongkrong untuk mencari sensasi akan
malam-malam gemerlapnya itu. Tak lain adalah untuk menghibur hati yang sedemikian banyaknya tertimbun masalah, bisa disebut mengobati kegalauan pada malam mingguan, bisa jadi malah menambah catatan pribadi tentang kegalauan pada malam mingguan.
Aku, seperti biasa pada malam mingguan. Memakai celana botol dengan banyak sobekan, baju hitam diiringi banyaknya striker anak punk, tak lupa kepala botak disertai tato ayah di atasnya. Pergi ke warung kopi menggunakan motor king yang penuh goresan serta karatan. Warung kopi hanya nama samara dalam pusaran malam.
Dalam heningnya malam dan bisunya rembulan aku menyusuri kegelapan demi kegelapan mengguanakan lampu motorku yang tidak ada kacanya, ditambah lagi lampunya kelap-kelip seperti lampu diskotik. Dengan tangan yang berkeringat dan jantung yang berdebar-debar, aku tak sabar menanti kopiku yang bercap Teler atau Mati disingkat TELTI. Bukan TELTI tujuannya, tapi sebuah aroma yang akan segera mendekapku, meyelimutiku, menghibur kalbuku sambil memberi cap ke wajahku.
Mataku mulai buyar karena jam sudah menunjukkan pukul 12.00 malam. Apalagi jaraknya yang begitu jauh disertai pula angin malam memijat-mijat sumsum tulangku. Ditambah Sang Rembulan yang segera membuka buku dongeng yang berjudul, TIDURLAH.
Kelamnya malam membuatku sempat tertidur di motor yang tak pernah kucuci dari pertama kali dikredit oleh almarhum ayahku. Sssrrtt! Aku mengerem hingga ban belakang motorku terangkat sekitar satu meter lebih. Dengan jantung yang hampir copot aku terdiam sejenak sambil memikirkan, “Bukankah itu tikus!” Aku turun dari motor namun kulihat hanya sebuah batu kecil yang terjebak di tengah jalan yang aku kira tikus. Kumasukkan saja batu kecil itu di saku celanaku yang penuh akan bungkus permen bekas cicipan bulan lalu.
Tak terasa aku sampai di warung kopi yang reyot. Warung yang menjorok ke dalam hingga hampir mencapai di tanah kuburan. Kemudian aku turun dari motor dengan sepatu yang mengkilap berlogo haram. Tak disangka, plat motor belakangku sudah kehilangan sebuah sekrup hingga aku kira plat motorku sempat-sempatnya melambai-lambai memanggil sekelompok polisi barusan, sampai-sampai wajahku ini berkeringat seperti sehabis berwudhu karena dilirik oleh segerombol mata yang tajam.
Langkahku pun menyusuri pintu yang sangat-sangat kelam. Kulihat di dalam tak seperti dunia luar yang kian membisu. Di sini seperti siang hari. Ditemani cahaya diskotik yang berwarna-warni seperti cahaya pelangi, bermodalkan lagu rock dan hip-hop para pengunjung menari-nari sambil ditemani sebotol bir yang bertuliskan halal, kata mereka.
Aku melangkah dan melangkah dengan wajah yang sangat bahagia menuju kursi tempat biasa aku memesan dua botol bir. Dengan senyum yang dibuat-buat, aku melirik di setiap pengunjung dengan mata yang sudah kehilangan cekungnya. Aku tak melihat pujaanku melintas dalam kacamata lensaku. Sambil melirik dengan tajam, aku berpikir bahwa dia tidak akan datang apalagi dengan tangan yang sudah menggenggam setumpuk uang. Dengan tangan kiri yang menopang kepala sambil meminum bir, hatiku terlintas sederetan isyarat bahwa harum wewangian rembulan malam, pelukan angin malam, penambal hati yang kelam, bir yang berserakan, tidak akan menemaniku pada malam ini. 
Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 malam. Dengan angin yang membawa embun-embun malam aku melihat para pengunjung sudah memakai jaket karena kedinginan. Tapi aku tidak, bukan karena tidak punya jaket tapi aku merasa kepanasan sebab apa yang harus kukatakan kepada juragan perihal sebuah cincin yang aku jual, terlebih lagi marahnya aku pada malam ini.
Dengan mata yang memerah, aku menjadi geram akan kehidupan dunia. Dikarenakan aku sejak dahulu tertimpa masalah yang cukup berat padahal umurku baru sembilan tahun. Dituduh membunuh ayah sendiri. Padahal sebelum kejadian ada seseorang dengan topeng abu-abu menggerek leher ayahku hingga hampir putus. Dengan sigap aku menolong ayahku sambil memegang pisau berdarah bekas orang itu. Namun warga setempat melihatku memegang pisau itu. Lantas akulah yang dituduh. Karena tak ada bukti yang kuat aku bebas dari tuduhan itu. Aneh dunia ini.
Tak lama kemudian aku sendiri di ruang ini. Kuteguk berkali-kali bir kesukaanku itu dengan lancarnya. Mengharap sebuah kenangan yang suram dapat hilang dalam ingatanku yang semakin fana. Entah sudah berapa kali aku ke sini, tak terhitung berapa kali. Tapi aku belum pernah ketahuan oleh ibuku yang sempat memenjarakanku. Sudah tahu atau tidak itu tak penting, yang penting bisa meneguk sebuah bir cap TELTI, itu sudah membuatku sedikit bahagia meskipun kegundahan semakin bertumpuk-tumpuk seperti laporan anak kuliahan.
Dengan memangku jabatan sebagai anak SMA kelas sebelas, aku tak pedulikan semua itu. Dengan guru yang selalu memarahiku seperti neraka jahannam, tak khayal aku menjadi bosan akan pendidikan. Bahkan sama guru pun aku pernah menamparnya hingga hidungnya mengeluarkan darah, aku tak menyesal sedikitpun, malah sebaliknya.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 03.00 malam dan tak terasa pula aku sudah meminum sebanyak empat botol bir. Tak biasanya aku seperti ini. Aku seperti sehabis ditelan bumi dengan lemahnya aku mencari secercah penarikan kehidupan lagi. Kemudian aku tidur dengan pulasnya sambil ditemani cahaya malam.
Itulah kisahku, tapi kenapa aku bisa terbaring di rumah sakit. Apakah suster itu benar bahwa aku mengalami overdosis yang sangat tinggi. Namun anehnya, kenapa di bawah bantalku ada sebuha kain putih yang sangat asing bagiku. Dan terlebih lagi, batu kecil itu berubah menjadi sebuah berlian merah yang sangat cantik jelita seperti bidadari dihiasi cahaya pelangi. Sebelum berlanjut, akan kuceritakan lagi sebuah mimpiku sehabis meneguk minuman haram itu. Mimpi yang tak mungkin dialami oleh seorang pendurhaka, pencuri, bahkan aku bisa bilang orang yang taat pun belum tentu bisa mengalaminya. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Seketika aku duduk di sebuah istana yang sangat-sangat megah. Di balik kaca kulihat rumput, pohon maupun lainnya seperti memberi isyarat kepadaku. Aku turun dari singgasana yang sedemikian cantiknya. Aku menuju sebuah taman yang dikelilingi oleh sungai susu, sungai arak, sungai madu dengan luas sungai yang tak bisa kukira berapa luasnya. Aku terheran-heran, “Tempat tinggal siapa ini?” Aroma yang sangat menyejukkan hati dan pemandangan yang menyejukkan hati pula. Hati tenang seperti rembulan ditemani oleh bintang-bintang.
Dalam penglihatanku yang berbinar-binar ada suara kecil yang menyahut, “Tuan kenapa sudah di sini…” Kemudian aku menjawab, “Kamu, siapa?” Tak lama kemudian suara itu menyahut kembali, “Aku adalah amalmu, tuan sendiri tak mengetahuinya bahkan tuan tak tahu itu adalah sebuah amal. Semua ini milikmu tuan…”
Tak lama kemudian datang seorang wanita cantik, bahkan kecantikannya tak bisa ditandingi oleh wanita-wanita mana pun. Dia memberiku sebuah gelas yang berisikan bir, entah kenapa dia memberiku bir. Setelah kucicipi, sungguh nikmat rasanya, nikmat sekali. Namun anehnya dia mengatakan, “Aku rindu padamu…”
Itulah kisah mimpiku yang aku sendiri tidak tahu entah di mana mimpi itu berada. Sampai-sampai lidahku ini masih merasakan nikmat bir itu yang sangat lezatnya. Kemudian aku langsung turun dari ranjang tidurku sambil membawa kain putih yang ada di bawah bantalku. Kulihat diriku di kaca, “Ada apa denganku?” Kurebahkan kain itu ternyata adalah sebuah pakaian muslim yang biasa disebut gamis. Dengan cepatnya aku memakai pakaian itu, namun, pakaian itu sangat lembut kepadaku. Seperti tangan seorang ibu yang mengelus-ngelus anaknya. Aku heran, kenapa dia rela mendekapku, memangilku serta merampasku dalam buaian kehancuran. Aku yang bejat, apakah pantas menerima semua kenikmatan-Nya?
Kutatap wajahku yang semakin bersinar. Dari mana aku bisa mendapatkan semua ini? Aku bingung mencari jawaban karena kebaikan sekecilpun tidak pernah kulakukan. Kutatap lagi wajahku dengan senyum yang tidak lagi dibuat-buat. “Apakah benar ini diriku?”
Sudah beberapa jam aku berdiri memandang wajahku sendiri. Sambil mengingat-ngingat kejadian masa lampau yang sangat mengerikan bagi kehidupanku sekarang. Bir cap TELTI yang selalu menghiburku, menjadi sahabat hidup matiku, kini sudah kutinggalkan bersama aroma busuk yang selalu menyayat lidahku. Wewangian rembulan malam alias perempuan, kini kucampakkan di tujuh sumur kehinaan. Kegalauan yang selalu menerkam kehidupanku, sekarang sudah menjelma menjadi bulir-bulir kesyahduan.
Sempat aku bertanya kepada diriku sendiri, “Apakah Dia hanya mempermainkanku?” Namun aku percaya bahwa Dia rindu padaku, rindu akan kebaikan yang aku sendiri tidak tahu kebaikan apa yang membuat Dia melihat lalu mengambilku dalam dunia-dunia setan itu.
Kemudian aku berjalan hendak keluar dari ruangan ini dan kulihat ibuku duduk termenung, yang aku kira ibuku sedang memikirkan hidup dan matiku. Sungguh hidupku menjadi berarti sekarang. Seperti rumput yang merindukan embun-embun malam. “Ibu…”
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar