Rabu, 03 April 2013

ROMANSA MASA MUDA


Oleh: Lulu Kurnia, SMA Muhammadiyah 1 Ptk

Terbaring... sejenak dia merasakan hembusan angin yang hangat dan menyejukkan menyentuh kulitnya. Di taman ini, tempat dia bersenda-gurau bersama mereka, bersama orang-orang terkasih.
“Bunga melati itu bagaikan kau, Yas,” ucap temannya kala itu.
Dia menelengkan kepala dengan heran. “Mengapa?”
“Harum dan lembut, tentu saja.”
Rona merah menjalar cepat di wajahnya. Benarkah demikian? Sesungguhnya ia berpikir tidak.
Hidupnya hanya menyusahkan keluarganya―setiap hari.
“Tidak melakukan apa-apa. Pergi-pulang sekolah lalu tidur,” keluh kakaknya di dapur, saat sedang menyiapkan makan malam.
Tapi tak pernah pula ia meladeni berbagai komentar dari keluarganya. Tak pernah ia mencoba berdebat dengan hasil yang sia-sia belaka dan merugikan dirinya sendiri. Dia hanya diam tanpa melawan sedikitpun. Toh, lama kelamaan mereka akan mengerti juga alasan mengapa dia sering datang terlambat ke rumah.
“Juara di kompetisi puisi tingkat SD sederajat, kau luar biasa, Yas,” puji teman-temannya kagum.
Namun dia tak menghadapi itu di rumah. Acuhanlah yang selalu didapatkan, tak ada pujian apalagi sampai sambutan hangat yang bisa membuatnya terpekur di kursi kelasnya dan melamun panjang.
Sekarang terbayang dengan taman klasik di belakang sekolah. Tempatnya biasa menuangkan segala kekalutannya dengan gagasan-gagasan tema puisi dan cerpen-cerpen fiksi yang memberondong dirinya.
“Aku tak bisa menuliskan semuanya,” keluhnya pada teman terbaiknya. “Tapi aku ingin kau mengetahuinya.”
Jadi setiap hari, ia habiskan dirinya untuk menulis di atas meja belajar sepulang dari sekolah. Berbuku-buku, berbagai lembaran kertas buram dan coretan di sana-sini menghiasi jurnal hariannya yang tebal.
“Menerbitkannya di majalah?”
Matanya terbelalak kaget, alisnya berkerut. Itu ide yang fantastis, tapi apa yang akan dikatakan oleh keluarganya nanti?
“Mungkin tidak usah, terimakasih.”
Dia menolak dengan sopan. Namun bukan berarti teman-temannya menyerah melihat bakat yang dimilikinya. Mereka mendesaknya, mengantarkan seluruh karyanya ke beberapa majalah remaja yang sedang naik daun. Hasilnya lumayan, selama satu bulan berselang, ada satu redaksi majalah yang ingin memuat rubrik sastra yang melampirkan karyanya. Berkat itulah, dia mendapat honor yang lebih bagi anak-anak seusianya dan ia tak pernah berhenti berterimakasih pada teman-temannya. Dia juga mendapat pekerjaan sebagai salah satu penulis di rubrik tersebut dan digaji setiap mengirimkan karya-karyanya, entah itu berupa puisi, syair atau cerpen.
“Selamat atas kemenanganmu, Yas,” kata teman-temannya memeluknya dan tersenyum padanya.
“Pemenang juara menulis cerpen tingkat SMP seKota Madya? Di SMA nanti apa, ya?”
Mereka tertawa bersama. Hangat, indah, penuh kenangan yang sangat menyenangkan. Dia tersenyum sendiri mengingat betapa sayangnya temannya padanya. Betapa mulianya mereka padanya, dan betapa berharganya mereka di matanya saat itu. Meski tak pernah seorang pun dari mereka tahu puisi apa yang telah dibacakan olehnya sehingga para juri bertepuk kagum. Atau syair apa yang membuat penonton terpukau akan penampilan darinya. Dan apa makna dari cerpen yang ia kirimkan sebagai peserta lomba saat itu.
Ah, mereka tidak tahu dan tak perlu mengetahuinya. Cukuplah dia yang memendam semua kebahagiaan yang telah dicurahkan padanya. Meskipun begitu ia merasa masih memiliki hambatan dalam mengembangkan bakatnya ini.
“Keluargaku tidak tahu.”
“Tidak mungkin, bagaimana dengan gelas emas yang berada di lemari kaca rumahmu?”
Dia terdiam sejenak, memperhatikan piala-piala tinggi berkilau, yang beberapa diantaranya berasal dari kemenangannya dalam mengikuti berbagai kompetisi sastra.
“Mereka tak menghargaiku,” gumamnya pelan. “Mereka menuntutku untuk melakukan hal yang lain.”
Sekarang ia mendengar alunan musik yang sangat indah dari dalam rumahnya dibalik tanaman menjalar yang menghiasi pintu kawat. Siapa lagi yang dapat memainkan piano dengan melodi seindah itu kecuali adiknya? Dan entah bagaimana ia tak mengerti, musik lebih disenangi dari pada rangkaian kata-kata yang indah, atau kalimat-kalimat bijak dan mutiara. Ia merasa terpukul mengetahui keluarganya lebih bangga akan permainan musik adiknya yang baru satu kali memenangkan kompetisi dibandingkan karya tulisnya yang telah meramaikan isi lemari kaca dengan piala-piala yang berlapis emas.
“Hidup ini terkadang tidak adil,” ungkapnya pada teman setianya. “Pertanyaanku hanya satu, mengapa?”
Temannya itu membisu menatapnya. Bingung memberikan saran atau kritik yang dapat membangkitkan semangat atau malah menurunkan mental hidupnya. Apabila telah mendapatkan suatu masalah dengan pemikiran yang buntu, maka dia akan menenggelamkan dirinya pada bacaan-bacaan ringan dan penuh khayalan.
“Tidak banyak orang yang suka membaca, terutama di Indonesia ini,” sahutnya sedih. “Kau tahu, menurut Albert Einstein, seseorang yang hanya membaca tapi sedikit menuangkan isi otaknya dapat membuat orang itu malas untuk berpikir.” Ia menerawang jauh. “Aku tak mau jadi orang yang seperti itu.”
Semenjak hari itu dia tak pernah terlihat duduk termangu di atas meja belajarnya. Seringkali dia ditemukan sedang menulis suatu karya lain, yang sepertinya sangat rahasia dan tak ingin diperlihatkan pada siapa pun.
“Penulis dikenal karena karya-karyanya,” cegat temannya suatu kali ketika mendapatinya menulis diam-diam. “Kau takkan mengetahui baik-buruknya karyamu tanpa adanya pembaca.”
Begitu melihat puisi tersebut, mata temannya terbelalak kaget. Tertulis jelas, ia mengutip karya seorang penulis puisi muda dari dunia maya yang membanggakan Indonesia lewat karyanya sebanyak 741 puisi di sebuah situs sastra yang beranggotakan penyair dan penulis puisi di seluruh dunia, poemhunter.com, yakni Maria Sudibyo.
“Aku mengaguminya, apa itu salah?” wajahnya terbakar karena marah dan malu.
“Ada hal lain yang kau sembunyikan, dan puisi itu...”
Dia langsung berhambur ke rumahnya yang tak jauh dari sana. Meski sudah dipanggil berkali-kali, dia seakan-akan tak mendengar apa pun. Dia sadar itu tindakan bodoh, siapa lagi selain temannya itu yang mampu memahaminya lebih dari keluarganya sendiri? 
Ia melirik puisi karya Maria Sudibyo itu, dengan judul yang pas untuk suasana hatinya beberapa minggu terkhir ini.
I love you, then, now, and tomorrow
I love you
And you’ve not only made me love you
I love you
And I love the people you see
I love the world where you live at
I love you
And you’ve made me love myself
It doesn’t stop only in my heart
I love you
The one brings me tears and happiness
Things I forgot when I struggled to find
I love you
I’m not unbreakable
But it doesn’t stop only in my love
Whether this love glowing unseen in the dark
I love you
And I thank you
Saatnya mengakui kebenaran yang telah terungkap... desahnya dalam hati.
“Jadi pemain klub teater itu, ya?”
Dia mengangguk, meski malu dan wajahnya merah padam. Dia merasakan sesuatu yang membuatnya selalu ingin melihat pemain itu melintas atau berada di atas panggung. Gayanya seperti aktor terkenal yang lihai memerankan setiap adegan apa pun yang menjadi tema dari kisah-kisah drama tersebut. Terlintas di benaknya untuk dapat berbincang dengan laki-laki itu.
“Lakukan saja. Kau bisa masuk klub itu dengan sangat mudah.”
Ide yang benar-benar gila, namun siapa yang dapat menyangkal jika dirinya pantas berada di klub teater sebagai penulis skenario handal dari pada klub musik dengan suara mezzosopran yang hanya bisa menjadi penyanyi paduan suara saat upacara bendera? Dia mulai dikenal sebagai penulis dengan berbagai kisah cerita yang menarik dan unik yang selalu ditampilkan dalam pementasan drama sekolahnya. Tidak hanya itu, impiannya  untuk bersama dengan laki-laki itu pun terwujud.
“Hidupku dramatis seperti panggung sandiwara,” ujarnya suatu sore setelah melepas lelah menghadiri acara selamatan atas kemenangannya sebagai penyumbang ide naskah drama terbaik. “Aku tidak mengerti apa yang harus kulakukan dengan semua yang terlintas di kepalaku. Kurasa aku tak bisa tidur bila memikirkan plot-plot menarik yang dapat kuberikan kepada kalian yang mau membacanya atau ceritanya lewat sebuah drama.”
Setelah lulus SMA dan sebelumnya memberikan penghargaan kepada sekolah sebagai sastrawan muda di sana, dia kuliah mengambil fakultas jurnalistik dan kerja sampingan di beberapa redaksi majalah, editor dari novelis-novelis muda dan penjaga perpustakaan kota.
“Aku bisa bebas membaca sebanyak yang aku mau,” terangnya ketika temannya bertanya mengapa dia mau bekerja sebagai penjaga perpustakaan kota. “Aku tahu apa yang kau maksud, tapi kau pun harus mengerti bahwa membaca dan menulis itu bagian dari hidupku yang tidak akan pernah lepas.”  
Ia membuat sebuah novel saku sebagai ujian akhir dari mata kuliahnya. Setelah itu hidupnya tak pernah sama lagi. Ia merasa waktunya telah dekat untuk kembali kepada Yang Maha Kuasa, meskipun usianya masih amat muda.
“Jangan merasa hidupmu hanya tinggal menghitung hari, Yas,” tegur temannya kesal. “Kau berbakat, dan gunakanlah itu sebaik-baiknya. Jika kau berdiam diri menunggu ajalmu, sama saja kau menyia-nyiakan hidupmu selama ini, prestasi yang selalu kau ukir, dan harapan untuk dihargai oleh keluargamu.”
Matanya terkatup rapat, lidahnya kelu untuk mengatakan apa pun, sementara bau obat menusuk tajam di ruangan yang terbungkus warna putih kelabu tersebut. Tali infus seakan memberitahunya bahwa dirinya memang ditakdirkan untuk meninggalkan dunia ini lebih cepat dari yang ia perkirakan sebelumnya. Ia membisu, namun air mata yang keluar dari bola matanya mengucapkan sesuatu yang kentara sekali. Ia tidak rela harus berakhir seperti ini.
Doa
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
CayaMu panas suci
                                                                                                    Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling*

Yasmin Harniansyah terbangun dari tidur panjangnya di atas kursi roda sementara dentingan piano masih mengalun lembut. Ia tersenyum dan mengeluarkan sebuah puisi dari bibirnya selagi menunggu Lina, sahabat karibnya dan Arry tunangannya, pemain teater, menjemputnya untuk menghadiri reuni SMA mereka. Ia meletakkan buku hariannya, yang berisi catatan cerpen dan puisi yang telah dimuat di media massa.
Puisi yang menghentak jiwanya, hanyut dalam pesona Yang Maha Kuasa dan tak hentinya mengucap syukur atas anugerah yang telah diberikan padanya. Dengan sejumlah prestasi yang ia miliki, dengan segenap kemampuan yang ia kembangkan dari bakatnya dan sekarang apa yang diinginkannya telah tercapai.
Keluarga itu penghambat sekaligus pemicu seseorang untuk selalu berusaha. Menggapai sesuatu yang dianggapnya sulit, namun apabila mengingat keluarga, dengan orang-orang terkasih yang tak pernah berhenti menganggap dirinya di saat tak ada seorang pun yang peduli, maka di saat itulah kita mengetahui bahwa kita tak pernah sendiri. Keluarga yang baik, yang membuat seseorang berprestasi akan iringan dan kemauan yang tinggi dari dalam dirinya sendiri.
Ia membuka suara dengan pelan dan lembut, mengukir puisi yang selama ini tak pernah diketahui siapa pun, dan hanya tersimpan di dalam benaknya.
Renungan Kasih
Tak pernah terlintas di sana
Ada ayah, ibu, semuanya
           
*puisi karya Chairil Anwar
Terdiam kumerasakan hidup
Menepis senja yang kala itu menusuk
Katanya yang menghaturkan menitikkan air mataku
Katanya yang memilukan hati kecilku
Kuserap tanpa berhenti berharap
Bahwa engkau tahu tak pernah kumenyerah
Selalu untukmu
Selalu demimu
Semua segala hidupku
Untukmu terkasih
Untukmu yang selalu membuatku merintih
Berderap langkahku menghambur padamu
Memelukmu
Oh keluargaku
Ada ayah, ibu, semuanya
Kusayang kalian selalu











Nama                             : Lulu Kurnia
Alamat                           : Jalan Parit Haji Husin II Komplek Meranti Indah   Blok H No 3
Sekolah                          : SMA Muhammadiyah 1 Pontianak
Alamat Sekolah             : Jalan Parit Haji Husin II
No. telp sekolah            : (0561) 711566
No. Hp                          : 08125750009
@mail                           : LuffyD400@yahoo.co.id
Facebook                      : Lulu Kurnia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar