Oleh: Lulu Kurnia, SMA Muhammadiyah 1 Ptk
Terbaring... sejenak dia
merasakan hembusan angin yang hangat dan menyejukkan menyentuh kulitnya. Di
taman ini, tempat dia bersenda-gurau bersama mereka, bersama orang-orang
terkasih.
“Bunga melati itu
bagaikan kau, Yas,” ucap temannya kala itu.
Dia menelengkan kepala
dengan heran. “Mengapa?”
“Harum dan lembut, tentu
saja.”
Rona merah menjalar
cepat di wajahnya. Benarkah demikian? Sesungguhnya ia berpikir tidak.
Hidupnya
hanya menyusahkan keluarganya―setiap hari.
“Tidak melakukan apa-apa.
Pergi-pulang sekolah lalu tidur,” keluh kakaknya di dapur, saat sedang
menyiapkan makan malam.
Tapi tak pernah pula ia
meladeni berbagai komentar dari keluarganya. Tak pernah ia mencoba berdebat
dengan hasil yang sia-sia belaka dan merugikan dirinya sendiri. Dia hanya diam
tanpa melawan sedikitpun. Toh, lama kelamaan mereka akan mengerti juga alasan
mengapa dia sering datang terlambat ke rumah.
“Juara di kompetisi
puisi tingkat SD sederajat, kau luar biasa, Yas,” puji teman-temannya kagum.
Namun dia tak menghadapi
itu di rumah. Acuhanlah yang selalu didapatkan, tak ada pujian apalagi sampai
sambutan hangat yang bisa membuatnya terpekur di kursi kelasnya dan melamun
panjang.
Sekarang terbayang
dengan taman klasik di belakang sekolah. Tempatnya biasa menuangkan segala
kekalutannya dengan gagasan-gagasan tema puisi dan cerpen-cerpen fiksi yang
memberondong dirinya.
“Aku tak bisa menuliskan
semuanya,” keluhnya pada teman terbaiknya. “Tapi aku ingin kau mengetahuinya.”
Jadi setiap hari, ia
habiskan dirinya untuk menulis di atas meja belajar sepulang dari sekolah.
Berbuku-buku, berbagai lembaran kertas buram dan coretan di sana-sini menghiasi
jurnal hariannya yang tebal.
“Menerbitkannya di
majalah?”
Matanya terbelalak
kaget, alisnya berkerut. Itu ide yang fantastis, tapi apa yang akan dikatakan
oleh keluarganya nanti?
“Mungkin tidak usah,
terimakasih.”
Dia menolak dengan
sopan. Namun bukan berarti teman-temannya menyerah melihat bakat yang
dimilikinya. Mereka mendesaknya, mengantarkan seluruh karyanya ke beberapa majalah
remaja yang sedang naik daun. Hasilnya lumayan, selama satu bulan berselang,
ada satu redaksi majalah yang ingin memuat rubrik sastra yang melampirkan
karyanya. Berkat itulah, dia mendapat honor yang lebih bagi anak-anak seusianya
dan ia tak pernah berhenti berterimakasih pada teman-temannya. Dia juga
mendapat pekerjaan sebagai salah satu penulis di rubrik tersebut dan digaji
setiap mengirimkan karya-karyanya, entah itu berupa puisi, syair atau cerpen.
“Selamat atas
kemenanganmu, Yas,” kata teman-temannya memeluknya dan tersenyum padanya.
“Pemenang juara menulis
cerpen tingkat SMP seKota Madya? Di SMA nanti apa, ya?”
Mereka tertawa bersama.
Hangat, indah, penuh kenangan yang sangat menyenangkan. Dia tersenyum sendiri
mengingat betapa sayangnya temannya padanya. Betapa mulianya mereka padanya,
dan betapa berharganya mereka di matanya saat itu. Meski tak pernah seorang pun
dari mereka tahu puisi apa yang telah dibacakan olehnya sehingga para juri
bertepuk kagum. Atau syair apa yang membuat penonton terpukau akan penampilan
darinya. Dan apa makna dari cerpen yang ia kirimkan sebagai peserta lomba saat
itu.
Ah, mereka tidak tahu
dan tak perlu mengetahuinya. Cukuplah dia yang memendam semua kebahagiaan yang
telah dicurahkan padanya. Meskipun begitu ia merasa masih memiliki hambatan
dalam mengembangkan bakatnya ini.
“Keluargaku tidak tahu.”
“Tidak mungkin,
bagaimana dengan gelas emas yang berada di lemari kaca rumahmu?”
Dia terdiam sejenak,
memperhatikan piala-piala tinggi berkilau, yang beberapa diantaranya berasal
dari kemenangannya dalam mengikuti berbagai kompetisi sastra.
“Mereka tak
menghargaiku,” gumamnya pelan. “Mereka menuntutku untuk melakukan hal yang
lain.”
Sekarang ia mendengar
alunan musik yang sangat indah dari dalam rumahnya dibalik tanaman menjalar
yang menghiasi pintu kawat. Siapa lagi yang dapat memainkan piano dengan melodi
seindah itu kecuali adiknya? Dan entah bagaimana ia tak mengerti, musik lebih
disenangi dari pada rangkaian kata-kata yang indah, atau kalimat-kalimat bijak
dan mutiara. Ia merasa terpukul mengetahui keluarganya lebih bangga akan
permainan musik adiknya yang baru satu kali memenangkan kompetisi dibandingkan
karya tulisnya yang telah meramaikan isi lemari kaca dengan piala-piala yang
berlapis emas.
“Hidup ini terkadang tidak
adil,” ungkapnya pada teman setianya. “Pertanyaanku hanya satu, mengapa?”
Temannya itu membisu
menatapnya. Bingung memberikan saran atau kritik yang dapat membangkitkan
semangat atau malah menurunkan mental hidupnya. Apabila telah mendapatkan suatu
masalah dengan pemikiran yang buntu, maka dia akan menenggelamkan dirinya pada
bacaan-bacaan ringan dan penuh khayalan.
“Tidak banyak orang yang
suka membaca, terutama di Indonesia ini,” sahutnya sedih. “Kau tahu, menurut
Albert Einstein, seseorang yang hanya membaca tapi sedikit menuangkan isi
otaknya dapat membuat orang itu malas untuk berpikir.” Ia menerawang jauh. “Aku
tak mau jadi orang yang seperti itu.”
Semenjak hari itu dia
tak pernah terlihat duduk termangu di atas meja belajarnya. Seringkali dia ditemukan
sedang menulis suatu karya lain, yang sepertinya sangat rahasia dan tak ingin
diperlihatkan pada siapa pun.
“Penulis dikenal karena
karya-karyanya,” cegat temannya suatu kali ketika mendapatinya menulis
diam-diam. “Kau takkan mengetahui baik-buruknya karyamu tanpa adanya pembaca.”
Begitu melihat puisi
tersebut, mata temannya terbelalak kaget. Tertulis jelas, ia mengutip karya
seorang penulis puisi muda dari dunia maya yang membanggakan Indonesia lewat
karyanya sebanyak 741 puisi di sebuah situs sastra yang beranggotakan penyair
dan penulis puisi di seluruh dunia, poemhunter.com, yakni Maria Sudibyo.
“Aku mengaguminya, apa
itu salah?” wajahnya terbakar karena marah dan malu.
“Ada hal lain yang kau
sembunyikan, dan puisi itu...”
Dia langsung berhambur ke
rumahnya yang tak jauh dari sana. Meski sudah dipanggil berkali-kali, dia
seakan-akan tak mendengar apa pun. Dia sadar itu tindakan bodoh, siapa lagi
selain temannya itu yang mampu memahaminya lebih dari keluarganya
sendiri?
Ia melirik puisi karya
Maria Sudibyo itu, dengan judul yang pas untuk suasana hatinya beberapa minggu
terkhir ini.
I love you, then, now, and tomorrow
I love you
And you’ve not only made me love you
I love you
And I love the people you see
I love the world where you live at
I love you
And you’ve made me love myself
It doesn’t stop only in my heart
I love you
The one brings me tears and happiness
Things I forgot when I struggled to find
I love you
I’m not unbreakable
But it doesn’t stop only in my love
Whether this love glowing unseen in the
dark
I love you
And I thank you
Saatnya mengakui
kebenaran yang telah terungkap... desahnya dalam hati.
“Jadi pemain klub teater
itu, ya?”
Dia mengangguk, meski
malu dan wajahnya merah padam. Dia merasakan sesuatu yang membuatnya selalu
ingin melihat pemain itu melintas atau berada di atas panggung. Gayanya seperti
aktor terkenal yang lihai memerankan setiap adegan apa pun yang menjadi tema
dari kisah-kisah drama tersebut. Terlintas di benaknya untuk dapat berbincang
dengan laki-laki itu.
“Lakukan saja. Kau bisa
masuk klub itu dengan sangat mudah.”
Ide yang benar-benar
gila, namun siapa yang dapat menyangkal jika dirinya pantas berada di klub
teater sebagai penulis skenario handal dari pada klub musik dengan suara
mezzosopran yang hanya bisa menjadi penyanyi paduan suara saat upacara bendera?
Dia mulai dikenal sebagai penulis dengan berbagai kisah cerita yang menarik dan
unik yang selalu ditampilkan dalam pementasan drama sekolahnya. Tidak hanya
itu, impiannya untuk bersama dengan laki-laki itu pun terwujud.
“Hidupku dramatis
seperti panggung sandiwara,” ujarnya suatu sore setelah melepas lelah
menghadiri acara selamatan atas kemenangannya sebagai penyumbang ide naskah
drama terbaik. “Aku tidak mengerti apa yang harus kulakukan dengan semua yang
terlintas di kepalaku. Kurasa aku tak bisa tidur bila memikirkan plot-plot
menarik yang dapat kuberikan kepada kalian yang mau membacanya atau ceritanya
lewat sebuah drama.”
Setelah lulus SMA dan
sebelumnya memberikan penghargaan kepada sekolah sebagai sastrawan muda di
sana, dia kuliah mengambil fakultas jurnalistik dan kerja sampingan di beberapa
redaksi majalah, editor dari novelis-novelis muda dan penjaga perpustakaan
kota.
“Aku bisa bebas membaca
sebanyak yang aku mau,” terangnya ketika temannya bertanya mengapa dia mau
bekerja sebagai penjaga perpustakaan kota. “Aku tahu apa yang kau maksud, tapi
kau pun harus mengerti bahwa membaca dan menulis itu bagian dari hidupku yang
tidak akan pernah lepas.”
Ia membuat sebuah novel
saku sebagai ujian akhir dari mata kuliahnya. Setelah itu hidupnya tak pernah
sama lagi. Ia merasa waktunya telah dekat untuk kembali kepada Yang Maha Kuasa,
meskipun usianya masih amat muda.
“Jangan merasa hidupmu
hanya tinggal menghitung hari, Yas,” tegur temannya kesal. “Kau berbakat, dan
gunakanlah itu sebaik-baiknya. Jika kau berdiam diri menunggu ajalmu, sama saja
kau menyia-nyiakan hidupmu selama ini, prestasi yang selalu kau ukir, dan
harapan untuk dihargai oleh keluargamu.”
Matanya terkatup rapat,
lidahnya kelu untuk mengatakan apa pun, sementara bau obat menusuk tajam di
ruangan yang terbungkus warna putih kelabu tersebut. Tali infus seakan
memberitahunya bahwa dirinya memang ditakdirkan untuk meninggalkan dunia ini
lebih cepat dari yang ia perkirakan sebelumnya. Ia membisu, namun air mata yang
keluar dari bola matanya mengucapkan sesuatu yang kentara sekali. Ia tidak rela
harus berakhir seperti ini.
Doa
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
CayaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling*
Yasmin Harniansyah
terbangun dari tidur panjangnya di atas kursi
roda sementara dentingan piano masih mengalun lembut. Ia tersenyum dan
mengeluarkan sebuah puisi dari bibirnya selagi menunggu Lina, sahabat karibnya
dan Arry tunangannya, pemain teater, menjemputnya untuk menghadiri reuni SMA
mereka. Ia meletakkan buku hariannya, yang berisi
catatan cerpen dan puisi yang telah dimuat di media massa.
Puisi yang menghentak
jiwanya, hanyut dalam pesona Yang Maha Kuasa dan tak hentinya mengucap syukur
atas anugerah yang telah diberikan padanya. Dengan sejumlah prestasi yang ia
miliki, dengan segenap kemampuan yang ia kembangkan dari bakatnya dan sekarang
apa yang diinginkannya telah tercapai.
Keluarga itu penghambat
sekaligus pemicu seseorang untuk selalu berusaha. Menggapai sesuatu yang
dianggapnya sulit, namun apabila mengingat keluarga, dengan orang-orang
terkasih yang tak pernah berhenti menganggap dirinya di saat tak ada seorang
pun yang peduli, maka di saat itulah kita mengetahui bahwa kita tak pernah
sendiri. Keluarga yang baik, yang membuat seseorang berprestasi akan iringan
dan kemauan yang tinggi dari dalam dirinya sendiri.
Ia membuka suara dengan
pelan dan lembut, mengukir puisi yang selama ini tak pernah diketahui siapa pun,
dan hanya tersimpan di dalam benaknya.
Renungan Kasih
Tak pernah terlintas di sana
Ada ayah, ibu, semuanya
*puisi karya Chairil Anwar
Terdiam kumerasakan hidup
Menepis senja yang kala itu menusuk
Katanya yang menghaturkan menitikkan air
mataku
Katanya yang memilukan hati kecilku
Kuserap tanpa berhenti berharap
Bahwa engkau tahu tak pernah kumenyerah
Selalu untukmu
Selalu demimu
Semua segala hidupku
Untukmu terkasih
Untukmu yang selalu membuatku merintih
Berderap langkahku menghambur padamu
Memelukmu
Oh keluargaku
Ada ayah, ibu, semuanya
Kusayang kalian selalu
Nama : Lulu Kurnia
Alamat : Jalan Parit Haji Husin II Komplek Meranti Indah Blok H No
3
Sekolah : SMA Muhammadiyah 1 Pontianak
Alamat
Sekolah
: Jalan Parit Haji Husin II
No. telp sekolah : (0561)
711566
No.
Hp
: 08125750009
@mail
: LuffyD400@yahoo.co.id
Facebook
: Lulu Kurnia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar